Menata Ulang Arah Transportasi Kota Tasikmalaya: Dari Masalah Menuju Visi Mobilitas Baru

RADAR TASIKMALAYA – Setiap pagi di Kota Tasikmalaya, pemandangan jalan raya selalu sama: deru motor memenuhi udara, angkot tua berjuang mencari penumpang, ojek online menepi di pinggir jalan sambil menatap layar ponsel, dan pejalan kaki menepi di trotoar yang separuhnya dipakai parkir. Di depan pasar, klakson bersahutan seperti orkestra jalanan; di simpang empat HZ Mustofa, lampu merah menjadi saksi betapa kota ini makin sesak oleh kendaraan, tetapi masih miskin keteraturan. Di tengah hiruk-pikuk itu, terselip pertanyaan sederhana: ke mana arah transportasi kota ini sebenarnya?

Transportasi adalah urat nadi sebuah kota. Di situlah denyut kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya berpadu dalam gerak yang kasatmata: kendaraan berlalu-lalang, orang berpindah dari satu titik ke titik lain, barang dan jasa bergerak menghidupi pasar, sekolah, kantor, hingga sudut-sudut kampung. Maka ketika urat nadi itu tersumbat—baik oleh macet, ketidaknyamanan, atau ketidakteraturan—yang terganggu bukan hanya mobilitas, tapi juga kualitas hidup kota secara keseluruhan.

Kota Tasikmalaya, dengan segala potensinya sebagai kota jasa dan perdagangan di selatan Jawa Barat, kini menghadapi tantangan serius dalam sektor transportasi. Ia bukan sekadar soal kemacetan di jam sibuk atau rusaknya jalan di kawasan tertentu, melainkan tentang tata sistem yang belum utuh antara moda transportasi, tata ruang, dan visi pembangunan kota ke depan. Masalah transportasi Tasikmalaya adalah potret mini dari banyak kota menengah di Indonesia: tumbuh pesat tapi tak tertata. Peningkatan jumlah kendaraan pribadi tidak diimbangi dengan pembenahan angkutan umum. Akibatnya, jalan-jalan kota yang relatif sempit menjadi semakin padat, polusi meningkat, dan efisiensi mobilitas menurun drastis.

Angkutan kota (angkot) yang dahulu menjadi primadona masyarakat Tasikmalaya kini kian kehilangan penumpang. Dulu, trayek-trayek seperti Pancasila–Indihiang, Cikurubuk–Cibeureum, atau Panyingkiran–Tawang menjadi urat nadi mobilitas harian. Sekarang, sebagian besar angkot berjalan dengan wajah lesu: sepi penumpang, mesin tua, sopir setengah putus asa menunggu di pangkalan yang makin sunyi. Munculnya ojek online mempercepat perubahan perilaku masyarakat. Moda ini menawarkan kepraktisan, kepastian harga, dan kenyamanan yang tidak dimiliki angkot konvensional. Namun di sisi lain, keberadaan ojol menimbulkan ketegangan sosial baru antara transportasi tradisional dan digital.

Fenomena ini menandakan satu hal penting: mobilitas masyarakat berubah lebih cepat daripada adaptasi kebijakan pemerintah daerah. Ketika perilaku warga bergerak ke arah digitalisasi transportasi, regulasi dan sistem perkotaan masih berkutat pada pola lama—seolah menolak kenyataan bahwa revolusi mobilitas sedang terjadi di depan mata. Akibatnya, kita menyaksikan pemandangan paradoksal: di satu sisi, warga Tasikmalaya

makin banyak yang menggunakan motor pribadi atau ojol; di sisi lain, angkot-angkot terus beroperasi setengah kosong, menghabiskan bahan bakar dan ruang jalan untuk menunggu penumpang yang tak kunjung datang.

Masalah lain adalah soal infrastruktur yang tidak sinkron antara fungsi jalan, kawasan perdagangan, dan pemukiman. Di banyak titik, seperti di sekitar Pasar Pancasila, HZ Mustofa, hingga Jalan RE Martadinata, kita melihat kepadatan luar biasa di jam-jam tertentu. Penyebabnya bukan hanya volume kendaraan, tetapi juga tata parkir liar, aktivitas perdagangan yang menjorok ke badan jalan, dan minimnya ruang pedestrian. Ironisnya, pembangunan jalan baru seringkali hanya memperpanjang masalah lama: jalan diperlebar, tapi pola perilaku pengguna tidak berubah. Masyarakat masih lebih memilih naik motor meski jaraknya dekat, karena tidak tersedia transportasi umum yang efisien, nyaman, dan pasti.

Padahal, jika transportasi publik berfungsi baik, banyak warga akan memilih meninggalkan kendaraan pribadi. Tapi selama angkutan umum tidak memberikan kepastian waktu, keamanan, dan kenyamanan, pilihan rasional masyarakat tetap: bawa kendaraan sendiri. Tasikmalaya belum memiliki sistem transportasi terpadu antar-moda. Belum ada terminal pengumpan yang menghubungkan trayek angkot dengan pusat-pusat kegiatan ekonomi, seperti kampus, rumah sakit, atau kawasan industri. Terminal tipe A di Indihiang lebih berfungsi sebagai simpul antar-kota, bukan antar-kawasan dalam kota. Akibatnya, mobilitas intra-kota dibiarkan mengalir sendiri tanpa pola yang jelas.

Dalam dua dekade terakhir, arah kebijakan transportasi di tingkat daerah lebih banyak berfokus pada pembangunan fisik—pelebaran jalan, perbaikan trotoar, atau penataan kawasan tertentu—namun minim inovasi sistemik. Kita jarang mendengar ada riset transportasi kota berbasis data mobilitas warga Tasikmalaya. Berapa orang yang menggunakan angkot setiap hari? Ke mana arah pergerakan dominan pagi-sore hari? Di mana titik-titik kemacetan berdasarkan jam dan pola aktivitas? Pertanyaan-pertanyaan itu mestinya menjadi dasar dalam perencanaan transportasi modern, bukan sekadar “feeling” lapangan atau proyek jangka pendek. Pemerintah daerah sebenarnya memiliki peluang untuk membangun sistem transportasi cerdas (smart mobility). Namun hal itu mensyaratkan satu hal penting: keberanian untuk beralih dari pendekatan konvensional ke pendekatan digital dan berbasis data.

Jika kita berbicara visi ke depan, Tasikmalaya harus berani melompat menuju sistem mobilitas perkotaan yang cerdas, ramah lingkungan, dan terintegrasi. Konsep ”Smart Mobility Tasikmalaya” dapat menjadi arah baru yang realistis sekaligus futuristik. Konsep ini bukan berarti mengganti semua angkot dengan kendaraan listrik atau membeli bus baru. Ia berarti menata ulang sistem—mulai dari manajemen trayek, integrasi pembayaran digital, hingga manajemen lalu lintas berbasis data real-time. Bayangkan jika Tasikmalaya memiliki aplikasi lokal yang memantau keberadaan angkot atau bus secara langsung, menyediakan informasi tarif, rute, dan waktu tempuh. Pengguna cukup membuka ponsel untuk mengetahui kapan angkot berikutnya tiba. Integrasi digital seperti ini telah terbukti berhasil di kota menengah lain, misalnya Solo dan Denpasar, yang mulai memodernisasi transportasi publik tanpa harus menyingkirkan moda tradisional. Tasikmalaya pun bisa belajar dan menyesuaikannya dengan karakter lokal: pendek, efisien, ramah sopir, dan terjangkau masyarakat.

Transportasi bukan sekadar soal kendaraan, tapi juga soal manusia di dalamnya. Sopir angkot, pengemudi ojol, tukang becak, pedagang kaki lima di sekitar terminal—semuanya adalah bagian dari ekosistem transportasi kota. Ketika pemerintah menata ulang sistem transportasi, dimensi sosial ini tidak boleh diabaikan. Pengemudi angkot yang kehilangan trayek karena digitalisasi, misalnya, bisa dilibatkan dalam sistem baru: menjadi pengemudi dalam jaringan transportasi digital, diberi pelatihan, dan mendapat insentif transisi. Begitu pula dengan tata ruang jalan. Trotoar bukan hanya untuk estetika, tapi hak pejalan kaki. Jalur sepeda bukan sekadar hiasan urban, tapi pernyataan keberpihakan pada mobilitas berkelanjutan.

Tasikmalaya bisa menjadi kota yang lebih manusiawi bila kebijakan transportasinya berpihak pada yang paling lemah: penumpang, pejalan kaki, pesepeda, dan sopir kecil. Bukan hanya pada kendaraan besar dan proyek beton. Namun, perubahan transportasi bukan hal mudah. Ia menyentuh banyak kepentingan: ekonomi, sosial, bahkan politik. Selalu ada resistensi dari mereka yang merasa diuntungkan dengan sistem lama. Misalnya, sebagian sopir angkot yang menolak digitalisasi, atau pengusaha parkir yang takut kehilangan lahan. Di sisi lain, masyarakat pun harus berubah. Tidak bisa berharap kota nyaman tapi masih malas berjalan kaki. Tidak bisa menuntut transportasi publik baik kalau tidak mau menggunakannya.

Mentalitas warga urban yang pragmatis—ingin cepat, murah, dan pribadi—harus digeser perlahan menuju kesadaran bersama bahwa kota ini adalah rumah bersama. Jika setiap orang berlomba memakai kendaraan pribadi, maka Tasikmalaya akan menuju kemacetan abadi. Perubahan mentalitas ini bisa dimulai dari kebijakan kecil tapi konsisten: car free day yang tidak sekadar seremoni, sekolah yang mendorong siswa menggunakan transportasi umum, atau instansi yang memberi insentif bagi pegawainya yang berangkat kerja tanpa kendaraan pribadi.

Visi transportasi Tasikmalaya masa depan mestinya tidak berhenti pada ”lancar” atau ”bebas macet.” Itu terlalu sempit. Visi yang lebih luhur adalah menjadikan Tasikmalaya kota yang terhubung, hijau, dan manusiawi. Kota yang terhubung berarti setiap warga—dari Gunung Sabeulah sampai Indihiang—punya akses mudah dan murah ke pusat kota, tanpa harus bergantung pada motor. Kota yang hijau berarti transportasinya rendah emisi, mengutamakan angkutan massal, dan menyediakan ruang nyaman bagi pejalan kaki serta pesepeda. Kota yang manusiawi berarti sistem transportasinya tidak menindas yang kecil, tapi menyejahterakan banyak pihak.

Langkah kecil menuju visi itu bisa dimulai dari reformasi trayek angkot untuk mengurangi rute tumpang tindih dan menciptakan sistem pengumpan ke terminal utama; digitalisasi sistem transportasi dengan aplikasi lokal dan pembayaran digital; pengenalan kendaraan ramah lingkungan untuk rute pendek dalam kota; perbaikan trotoar dan jalur sepeda; serta edukasi publik melalui kampanye budaya yang mengajak warga naik angkot atau berjalan kaki demi lingkungan.

Kota Tasikmalaya sesungguhnya memiliki modal sosial yang kuat: masyarakatnya terbiasa guyub, warganya mudah beradaptasi, dan semangat kolektifnya masih hidup. Bila modal ini diarahkan dengan visi yang jelas, sektor transportasi bisa menjadi pintu masuk menuju kota modern yang bermartabat. Bayangkan sebuah pagi di masa depan: jalan HZ Mustofa yang teduh tanpa parkir liar, angkot listrik berhenti tepat waktu, pejalan kaki nyaman menapaki trotoar rapi, dan sopir tersenyum karena penghasilannya layak. Itu bukan utopia. Itu masa depan yang bisa kita rancang jika pemerintah, masyarakat, dan pelaku transportasi berjalan bersama. Karena sesungguhnya, kota yang maju bukan diukur dari berapa banyak mobil pribadi yang melintas, tapi seberapa mudah warganya berpindah tempat tanpa merasa terasing di kotanya sendiri.

Tasikmalaya kini berada di simpang jalan antara keteraturan dan kekacauan mobilitas. Bila kebijakan transportasi masih berjalan tambal sulam, maka kemacetan, polusi, dan ketidaknyamanan akan menjadi “normal baru” yang menyiksa warga setiap hari. Namun bila kita berani menata ulang dengan visi jangka panjang—berbasis data, teknologi, dan kemanusiaan—maka Tasikmalaya berpeluang menjadi contoh kota menengah yang berhasil bertransformasi. Transportasi bukan sekadar urusan jalan dan kendaraan. Ia adalah urusan peradaban: tentang bagaimana manusia bergerak, berinteraksi, dan membangun makna hidup di ruang bersama. Maka menata transportasi sejatinya adalah menata cara kita hidup sebagai warga kota. Dan barangkali, di situlah Tasikmalaya diuji: apakah kita ingin sekadar menjadi kota yang sibuk bergerak, atau kota yang bergerak dengan akal sehat. (Aye Rakhmat Hidayat)

Penulis adalah esais dan kolumnis Tasikmalaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *