Media Darling Jokowi dan Populisme Digital Kang Dedi

Politik13 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Popularitas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mulai dibandingkan dengan awal mula meroketnya Jokowi dalam menapaki dunia politik.

Beberapa netizen sudah memberi asumsi adanya pola yang sama yang dilakukan Jokowi dalam membangun popularitas politik yang menghantarkannya dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta sampai menjadi presiden dua periode. Maka 2029 Dedi Mulyadi akan moncer menjadi RI 1 seolah sudah menjadi “ramalan” politik yang valid. Tapi apakah ada kesamaan pola  antara Jokowi dan Dedi Mulyadi?

Tulisan ini bukan untuk memperkuat argumen “ramalan” politik tersebut. Tulisan ini mencoba menjawab perbedaan dimensi dan media komunikasi politik yang digunakan. Awal mula kemunculan Jokowi dari hanya politisi lokal Solo menjadi politisi nasional ditopang oleh pemberitaan media elektronik dan cetak.

Rentang waktu 2005 sampai 2012 (Wali Kota Solo-Gubernur DKI Jakarta) adalah rentang waktu krusial dan momentum meroketnya nama Jokowi dalam perhatian publik (televisi dan media cetak). Direntang tahun tersebut penggunaan media sosial tidak se-lumrah sekarang.

Wajah Jokowi dikenalkan pada publik dari sorotan kamera dan jepretan foto wartawan, maka munculah istilah media darling. Media darling ini merujuk pada pengertian betapa sukanya media cetak dan elektronik memberitakan sosok Jokowi. Momen epik yang terkenal sampai saat ini adalah saat Jokowi turun ke gorong-gorong di Jakarta.

Pertanyaannya apakah media darling tersebut adalah sesuatu yang natural di mana “eksotisme” politik Jokowi menjadi magnet yang menempatkannya menjadi sumber pemberitaan yang banyak diburu dan diberitakan banyak media pada waktu itu, atau ada analisa yang mengatakan bahwa media darling tersebut adalah bagian dari strategi yang dikondisikan untuk mengejar elektabilitas politik. Dalam politik, alami atau sebuah desain yang dikondisikan bukanlah soal penting, yang penting adalah soal meroketnya nilai elektabilitas yang kemudian dikonversi menjadi hitung-hitungan perolehan suara secara kuantitatif sebagai dasar legitimasi menjadi gubernur atau presiden.

Dalam ruang terbatas berupa pemberitaan media televisi dan cetak dialektika tidak terbangun secara sempurna karena pembentukan opini yang satu arah hanya menembakan opini kepada publik tanpa ruang dialektis, perbedaan pendapat atau bahkan perdebatan terbuka.

Publik pada dasarnya akan menerima apa yang diberitakan tanpa ada ruang terbuka untuk menyampaikan perbedaan, kritik atau bahkan penolakan. Di tengah sebagian besar publik yang tidak kritis bahkan apatis, pemberitaan seperti ini akan mudah membentuk struktur atau cara berpikir publik dimulai dari membentuk konstruksi personal, konstruksi sosial dan akhirnya membentuk konstruksi politik yang mengantarkan Jokowi dari wali kota, gubernur sampai presiden dua periode.

Dalam teori dasar komunikasi politik yang dikemukakan oleh Harold Lasswel (1927), bahwa pesan politik apa pun yang disampaikan melalui media masa ibarat pesan dan narasi yang disuntikan langsung kepada publik, publik menjadi tidak berdaya akibat suntikan opini dan narasi tersebut. Publik tidak berdaya dan media sangat perkasa. Dari sudut pandang  teori inilah media darling yang terbentuk pada saat itu mampu mendongkrak popularitas Jokowi.

Sekarang bagaimana kita melihat fenomena popularitas Dedi Mulyadi. Apakah ada kesamaan pola, dimensi dan media atau bahkan ada kesamaan teori yang digunakan untuk melihat itu. Dedi Mulyadi menggunakan media sosial untuk menampilkan aktivitas jauh sebelum perhelatan Pilkada serentak 2024, ketika masih menjabat sebagai bupati Purwakarta dia gunakan media sosial untuk membuat konten yang berkaitan tentang aktivitas sosial, politik dan pemerintahan.

Artinya publik mengenal Dedi Mulyadi bukan dari sorotan kamera dan jepretan foto wartawan tetapi dari interaksi digital dua arah bernama media sosial. Insight kontennya naik cepat seiring kemenangan dia menjadi gubernur Jawa Barat pada Pilkada 2024, dengan menciptakan panggilan “bapak aing” netizen dikonstruksi sebagai orang yang mau dipimpin oleh Dedi dan menciptakan kesadaran untuk mau berada pada barisan kepemimpinan Dedi Mulyadi.

Kedua, setelah menjadi Gubernur Jawa Barat dia membuat konten di dalam media sosialnya yang mendramatisasi suatu kebijakan-kebijakan yang memang populis. Nampaknya Dedi Mulyadi menyadari bahwa media sosial ini adalah ruang bebas di mana dialektika akan sebuah konten yang diunggah akan mewarnai respons para netizen.

Dedi tidak boleh membuat blunder atas konten yang dibuat. Viralitas hanya terjadi dari sesuatu respons positif bukan karena blunder yang bercitra negatif. Ketika Dedi membuat konten tentang kebijakannya dia tidak sedang menyuntikan opini, karena masyarakat digital atau netizen punya ruang terbuka mengkritik langsung. Untuk itulah fenomena buzzer digunakan untuk membungkam dialektika itu dan menciptakan opini melalui komentar atau postingan.

Dedi Mulyadi memang piawai dalam membentuk populisme digital. Dia memahami betul bagaimana komunikasi politik hari ini harus bisa menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. Hari ini informasi tidak menjadi monopoli para bos media atau pemilik stasiun televisi. Kita bisa menciptakan informasi kita sendiri. Ini yang dipahami betul oleh Dedi sejak tren media sosial meningkat. Populisme dalam politik adalah gaya komunikasi elit yang harus memberikan citra bahwa dirinya sedang mewakili kepentingan rakyat (Setiyawan, 2020). Populisme digital adalah populisme yang terjadi pada era digital, membangun basis dukungan yang didorong dengan instrumen media sosial yang masif.

Populisme yang dibangun secara digital di media sosial memiliki tantangan tersendiri karena publik atau netizen akan dapat merespons secara langsung. Ada satu teori yang mungkin bisa menjadi pisau analisis perilaku netizen hari ini. Teori khalayak kepala batu yang dikembangkan Richard (1936), Raymond Bauer (1964) dan Scrahmm dan Robert (1977). Teori ini meyakini bahwa publik tidak pasif bahkan aktif yang mampu menangkal semua informasi. Informasi atau konten akan diterima disaring, diseleksi dan difilter apakah diterima atau tidak.

Inilah yang membedakan pola dan dimensi komunikasi politik antara Jokowi dan Dedi Mulyadi. Jokowi lahir di tengah tren media konvensional cetak dan televisi yang tidak memunculkan respons langsung atau diskursus langsung. Sedangkan Dedi Mulyadi muncul di tengah era media sosial. dari sisi cakupan era media sosial sangat efektif menjangkau setiap orang tetapi satu sisi setiap informasi atau konten yang diunggah akan mendapat respons langsung dari netizen. (Rino Sundawa Putra SIP MSi)

penulis merupakan dosen FISIP Universitas Siliwangi (Unsil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *