RADAR TASIKMALAYA – Dakwah Islam di era modern menghadapi tantangan yang semakin kompleks seiring derasnya arus modernisasi, urbanisasi, dan globalisasi. Perubahan sosial yang cepat membawa pengaruh budaya asing yang secara perlahan mengikis nilai-nilai agama dan budaya lokal. Akibatnya, muncul kesenjangan antara ajaran Islam yang ideal dengan praktik kehidupan sehari-hari. Di satu sisi, masyarakat membutuhkan identitas budaya lokal sebagai penopang jati diri, namun di sisi lain mereka terdorong untuk mengadopsi nilai-nilai modern yang kadang tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Kecenderungan dakwah yang masih konvensional menunjukkan adanya jarak antara pesan agama dan kehidupan nyata. Padahal, integrasi ajaran Islam dengan kearifan lokal dapat menciptakan harmoni dan meningkatkan penerimaan masyarakat. Budaya Sunda, misalnya, memiliki nilai-nilai luhur seperti silih asah, silih asih, silih asuh, gotong royong, dan penghormatan terhadap seni serta bahasa daerah. Nilai-nilai ini dapat menjadi pintu masuk dakwah yang lebih membumi dan humanis.
Lingkar Daulat Malaya menjadi salah satu contoh dakwah kultural yang berakar pada tradisi Sunda. Berdiri sejak 2016 di Tasikmalaya, Lingkar Daulat Malaya memadukan dakwah dengan konsep tadabur, yakni merenungi persoalan hidup secara mendalam, baik pribadi, sosial, budaya, lingkungan, maupun agama.
MODEL DAKWAH KOMUNITAS LDM
Model dakwah yang dikembangkan oleh Komunitas Lingkar Daulat Malaya (LDM) di Tasikmalaya merupakan kombinasi antara pendekatan kultural dan partisipatif. Dakwah tidak dipandang sebagai ceramah satu arah, melainkan praktik budaya yang tumbuh dari realitas sosial masyarakat Sunda. Pola ini sejalan dengan pandangan Clifford Geertz tentang budaya sebagai jaringan simbol, di mana agama hadir dan bermakna dalam sistem simbol lokal yang hidup di masyarakat.
Forum utama LDM berbentuk ngaji bareng dengan pendekatan tadabur, yaitu merenungi persoalan kehidupan, mulai dari masalah pribadi, sosial, budaya, hingga agama. Semua jamaah diposisikan setara dan bebas menyampaikan pandangan, sementara struktur duduk melingkar menciptakan suasana egaliter. Bahasa Sunda digunakan sebagai pengantar atau muqodimah, berfungsi membangun keakraban, identitas, dan penghormatan terhadap tradisi, meski bukan menjadi bahasa utama dalam forum.
Ekspresi seni dan sastra juga hadir secara sukarela dalam forum. Siapa pun boleh tampil, baik membacakan puisi, memainkan musik, atau bentuk kesenian lain, tanpa aturan baku. Kehadiran seni ini memperhalus suasana dakwah, menghadirkan nuansa humanis, serta mempererat hubungan antarjamaah. Dakwah pun menjadi ruang yang cair dan inklusif, di mana nilai-nilai Islam mengalir melalui bahasa dan simbol budaya yang akrab.
Selain penyampaian nilai keislaman, dakwah LDM juga berfungsi sebagai sarana silaturahmi dan penguatan sosial. Pendekatan ini menjadikan dakwah LDM lebih membumi, inklusif, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.
LDM DAN BUDAYA SUNDA
Penerapan budaya Sunda dalam dakwah Komunitas Lingkar Daulat Malaya (LDM) bukanlah sekadar hiasan estetis yang dipajang dalam forum keagamaan. Budaya Sunda hadir sebagai kerangka utama yang membentuk wajah dakwah partisipatif dan kontekstual. Salah satu aspek penting adalah kehadiran seni musik dan puisi dalam forum LDM. Seni tidak pernah diperlakukan sekadar hiburan tambahan, melainkan wahana ekspresi spiritual. Siapa pun jamaah yang hadir boleh tampil secara sukarela, baik membacakan puisi, melantunkan lagu, atau memainkan alat musik tradisional.
Selain seni, falsafah Sunda juga menjadi bagian penting dalam proses tadabur. Nilai-nilai seperti silih asih, silih asah, silih asuh, ajeg tangtunga (teguh pendirian), atau hirup sauyunan (hidup harmonis) kerap dijadikan bahan tadabur bersama. Ungkapan-ungkapan ini tidak hanya dijelaskan secara linguistik, tetapi direnungkan bersama dengan ayat Al-Qur’an, hadis, maupun pengalaman kehidupan sehari-hari. Dari sini tampak bahwa LDM menjadikan falsafah Sunda bukan sekadar hiasan budaya, tetapi sumber nilai sekaligus ruang tadabur yang membuka kesadaran spiritual jamaah.
TANTANGAN DAN STRATEGI DAKWAH
Komunitas Lingkar Daulat Malaya (LDM) di Tasikmalaya tumbuh sebagai ruang dakwah yang unik, menggabungkan nilai keislaman dengan budaya Sunda. Dalam hal konsep, LDM berangkat dari nilai-nilai universal Maiyah Caknun, kemudian menyesuaikannya dengan konteks sosial dan budaya masyarakat Tasikmalaya. Tantangannya terletak pada bagaimana membuat nilai tersebut terasa relevan dan akrab.
Keterbatasan sumber daya juga sempat menjadi hambatan, terutama karena LDM tidak memiliki sekretariat permanen. Akan tetapi, kondisi ini dihadapi dengan sikap fleksibel: berpindah-pindah tempat, memanfaatkan ruang publik, hingga menggelar acara di gedung dakwah yang dipinjamkan. Tantangan lain adalah menjaga konsistensi anggota. Sebagian besar pegiat LDM berasal dari kalangan milenial dengan kesibukan yang beragam.
Pada akhirnya, tantangan terbesar LDM adalah menjaga agar simbol budaya Sunda tetap relevan di tengah perubahan zaman. Untuk itu, LDM tidak hanya mempertahankan nilai-nilai seperti silih asah, silih asih, silih asuh, tetapi juga menafsirkannya ulang dalam konteks kehidupan modern melalui tadabur, seni, dan diskusi reflektif.
Dengan demikian, apa yang semula tampak sebagai hambatan, justru menjadi ruang kreatif bagi LDM untuk terus berinovasi. Dari keterbatasan lahir fleksibilitas, dari resistensi muncul ruang dialog, dan dari tantangan regenerasi lahir partisipasi yang lebih terbuka. LDM menunjukkan bahwa dakwah kultural bukan hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang di tengah dinamika masyarakat modern dengan wajah yang ramah, inklusif, dan relevan.
Irawan
Alumni Fakultas Dakwah Universitas Islam KH Ruhiat Cipasung






