RADAR TASIKMALAYA – Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam terbesar di dunia. Dari kelapa sawit, batu bara, hingga nikel, semua menjadi motor penting bagi perekonomian nasional. Namun, di balik kontribusi besar terhadap devisa negara, pengelolaan yang eksploitatif justru menghadirkan paradoks: daerah penghasil sering tidak menikmati kesejahteraan, sementara kerusakan lingkungan semakin meluas. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekayaan alam tidak otomatis membawa kemakmuran jika tidak dikelola dengan adil dan berkelanjutan.
Industri sawit, misalnya, menyumbang puluhan miliar dolar untuk ekspor setiap tahun. Namun, masyarakat di Riau, Kalimantan, hingga Papua Barat kerap masih berhadapan dengan masalah klasik: akses pendidikan dan kesehatan terbatas, serta konflik lahan yang belum terselesaikan. Hal serupa terjadi pada tambang nikel dan batu bara. Alih-alih memberikan kemajuan, banyak wilayah justru meninggalkan jejak kerusakan lingkungan jangka Panjang mulai dari deforestasi, polusi air, hingga degradasi tanah.
Kondisi ini makin diperburuk oleh proyek strategis yang tidak sensitif terhadap ekologi. Program food estate di Kalimantan Tengah dan Papua, misalnya, banyak dikritik karena gagal memenuhi target pangan, merusak lahan gambut, dan meminggirkan masyarakat adat. Demikian pula, ekspansi tambang nikel di kawasan konservasi Raja Ampat menimbulkan ancaman serius bagi salah satu ekosistem laut terkaya di dunia. Ironisnya, sektor pariwisata berkelanjutan yang bisa memberi manfaat jangka panjang justru terancam hilang.
Di sisi lain, limbah plastik impor yang digunakan sebagai bahan bakar pabrik tahu di Jawa Timur menjadi cermin betapa lemahnya tata kelola lingkungan kita. Produk pangan lokal seperti telur ayam di wilayah tersebut bahkan terkontaminasi zat berbahaya akibat pembakaran sampah plastik. Hal ini bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga mencoreng citra Indonesia dalam pengelolaan limbah dan pangan.
Meski demikian, masih ada sinyal positif. Pemerintah pusat menyatakan komitmen untuk menindak tegas eksploitasi ilegal, termasuk perkebunan sawit tanpa izin yang luasnya mencapai jutaan hektare. Upaya penyitaan lahan yang bermasalah bisa menjadi langkah awal, asalkan dibarengi dengan transparansi, penegakan hukum yang konsisten, dan keberpihakan pada masyarakat lokal. Namun, kebijakan semacam ini jangan hanya berhenti pada retorika, melainkan harus menjadi instrumen nyata dalam mereformasi tata kelola sumber daya alam.
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah transisi energi. Saat ini, investasi energi terbarukan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, masih jauh dari kebutuhan. Padahal, untuk mencapai target iklim global, Indonesia perlu meningkatkan pendanaan energi bersih hingga ratusan miliar dolar setiap tahun. Minimnya investasi menunjukkan bahwa regulasi dan insentif fiskal belum cukup menarik bagi investor. Jika hal ini tidak segera dibenahi, ketergantungan pada batu bara dan energi fosil akan semakin menghambat langkah menuju pembangunan berkelanjutan.
Karena itu, solusi tidak bisa lagi ditunda. Indonesia perlu menggeser paradigma pembangunan dari orientasi jangka pendek berbasis eksploitasi ke arah ekonomi hijau dan biru yang lebih inklusif. Ekonomi biru, misalnya, menawarkan integrasi antara konservasi laut dan aktivitas ekonomi berkelanjutan. Dengan partisipasi masyarakat lokal, pendekatan ini bisa menjaga kelestarian ekosistem sekaligus menciptakan sumber penghidupan baru. Di darat, penerapan ekonomi sirkular dan green finance bisa menjadi pilar baru untuk memastikan sumber daya digunakan secara efisien dan berulang.
Pada akhirnya, Indonesia berada di persimpangan: apakah terus melanjutkan model pembangunan eksploitatif yang cepat tetapi rapuh, atau berani melakukan reformasi menuju pembangunan yang adil, hijau, dan berkelanjutan. Kekayaan sumber daya alam seharusnya menjadi modal untuk kesejahteraan dan ketahanan bangsa, bukan sumber konflik ekologis. Pilihan itu kini ada di tangan kita semua mulai dari pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat sipil untuk memastikan masa depan Indonesia tidak hanya kaya, tetapi juga lestari. (Dian Hadian Rahab)
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).