Demokrasi VS Komunisme, Paradoks Memenangkan Perang Dingin

Politik273 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Tatanan dunia hari ini tidak lepas dari proses konflik. Kita mengenal beberapa babak konflik yang terdokumentasikan dalam catatan sejarah. Kita membaca sejarah perang dunia kesatu (1914-1918), kemudian perang dunia kedua (1939-1945). Perang dunia kedua  yang ditandai lahirnya poros fasisme Jerman-Jepang-Italia adalah momentum emas bagi Amerika, setelah menjadi pemimpin aliansi  bersama sekutu utama Inggris (Imperium Britania), Perancis, Uni Soviet yang berhasil menghantam kekuatan Jerman di bawah kekuasaan fasis Hitler sekaligus memupus ambisi Hitler menguasai Eropa dan menjadi negara adidaya, Amerika kemudian dengan cemerlang mengalahkan Jepang.

Bom atom Hiroshima dan Nagasaki memaksa kekuatan militer yang menginvasi beberapa negara di Asia (perang Pasifik) angkat kaki dan melemahkan kekuatan militer Jepang termasuk di Indonesia. Muncul pertanyaan yang menggelitik, kalau Hiroshima dan Nagasaki tidak di bom Amerika pendudukan Jepang di Indonesia apakah hanya 3,5 tahun?, artinya berhasilnya deklarasi proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari situasi konflik politik global pada saat itu khususnya perang Pasifik Amerika melawan Jepang.

Jepang menyerah pada sekutu dan Jepang angkat kaki dari Indonesia. Babak ini juga memperlihatkan bahwa Amerika negara satu satunya pada waktu itu yang berhasil menciptakan dan mengembangkan bom Atom sekaligus menegaskan pada dunia siapa sesungguhnya pemenang perang dunia kedua. Amerika juga sekaligus merepresentasikan kekuatan demokrasi-kapitalis semakin “bernafsu” mengimpor demokrasi-kapitalis ke belahan dunia lain.

Seiring dengan kemenangan sekutu pimpinan Amerika pada perang dunia kedua, kekuatan komunis juga bertahap sedang mengkonsolidasikan kekuatan di Eropa Timur. Jerman khususnya Berlin setelah ditaklukkan pada perang dunia kedua menjadi zona baru yang menandai babak selanjutnya konflik global. Jerman dipecah menjadi dua zona, Jerman barat dan Jerman timur. Joseph Stalin pemimpin Uni Soviet memimpin aliansi bersama Polandia, Hungaria dan Cekoslovakia membentuk blok timur, blok timur inilah yang menguasai dan memiliki otoritas atas Jerman timur dan Amerika Bersama Inggris, Perancis yang kemudian disebut blok barat memiliki kekuasaan dan otoritas di Jerman Barat. Masuklah dunia pada babak polarisasi antara blok timur dengan ideologi komunis dan blok barat dengan ideologi demokrasi-kapitalis. Tembok Berlin yang memisahkan antara Jerman barat dan Jerman timur adalah pembatas yang memisahkan dua blok, dua kekuatan ideologi dan dua kekuatan militer. Secara simbolik tembok Berlin adalah simbol keberlanjutan konflik antara komunisme dan demokrasi-kapitalis.

Eskalasi konflik perang dingin tidak pernah menjadi konflik terbuka berupa peperangan langsung  antara dua blok negara negara tersebut, konflik tersebut hanya kentara pada persaingan teknologi, teknologi ulang alik (luar angkasa), teknologi militer dan persaingan pengembangan bom nuklir. Berdirinya NASA dan klaim pendaratan pertama di bulan oleh Astronot Amerika bernama Neil Armstrong adalah bagian dari plot perang dingin. Walau begitu operasi lintas negara yang menyangkut operasi intelejen dan militer sering dilakukan. Operasi CIA di Indonesia dengan klimaks peristiwa 65 adalah Analisa sejarah yang dipaparkan oleh David T Johnson, Indonesia 1965: The Role of the US Embbasy.

Operasi CIA tersebut diawali kekhawatiran Washington melihat gelagat Soekarno yang nampaknya lebih dekat dengan Komunis. Dalam konteks perang dingin, pengaruh RRC sebagai negara satelit Uni Soviet sangat ditakuti Amerika memiliki efek domino  di Asia setelah sebagian Vietnam dikuasai rezim komunis. Indonesia paling ditakuti menjadi negara komunis setelah lawatan lawatan Soekarno ke negara negara blok timur apalagi setelah terbentuk poros Jakarta-Peking-Moscow-PyongYang. Klimaks peristiwa 1965 adalah jatuhnya kekuasaan Soekarno dan melahirkan rezim Soeharto yang pro barat, dalam konteks ini analisa David T Johnson menjadi  masuk akal.

Peristiwa 1965 membuat beberapa perubahan politik yang sangat dramatis, pertama hancurnya kekuatan komunis di Indonesia disertai pembantaian massal, jatuhnya kekuasaan Soekarno dan lahirnya rezim militer Soeharto yang pro barat, perubahan fundamental ekonomi menjadi lebih terbuka akan investasi asing yang menegaskan implementasi ekonomi kapitalis. Amerika, blok barat memenangkan perang dingin di Indonesia. Jhon Roosa sejarawan Universitas British Columbia dalam bukunya Pretex for Mass Murder : The September 30th Movement and Soeharto’s Coup d’etat in Indonesia mengatakan tentara menangkapi satu setengah juta lebih, semuanya dituduh terlibat penculikan 7 Jenderal pada Gerakan 30 September 1965.

Wartawan yang melakukan laporan investigasi  Stanley Karnow dari Washington Post memperkirakan setengah juta orang yang mati karena dituduh komunis di Jawa dan Bali setelah dia melakukan perjalanan investigasi (Roosa, 2006).

Ada karya yang menarik tentang pola operasi CIA di Jakarta tahun 1965 yang cemerlang kemudian dijadikan pola untuk digunakan pada negara lain, buku The Jakarta Method; Washington’s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program That Shaped Our World karya Vincent Bevins. Karya Bevins ini dengan apik memaparkan bagaimana Washington melihat militer dapat dijadikan sebagai kekuatan anti komunis. Buku The Jakarta Method adalah referensi penting untuk memahami plot sejarah bagaimana perang dingin  dimenangkan blok barat Amerika, keberhasilan atas ambisi mengekspor demokrasi-kapitalis dengan pola yang dilakukan pada peristiwa 1965 (Bevins, 2021).

Operasi intelejen, membangun koneksi dengan militer, menciptakan ketidakstabilan, kerusuhan, pembantaian adalah ciri khas operasi CIA dalam memenangkan perang dingin. Paper yang ditulis Peter Dale Scott berjudul  US and the Overthrow of Sukarno 1965-1967 dalam Jurnal Pacific Affairs  University of British Columbia Volume 58 nomor 2 1982, CIA membangun koneksi dengan perwira Angkatan darat dalam sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad)  dan salah satu perwiranya adalah Soeharto (Scott, 1985).

Operasi operasi intelejen Amerika  banyak dilakukan di beberapa negara, operasi utama adalah menggulingkan pemimpin, menggulingkan satu rezim yang dianggap pro komunis dan menggantinya dengan rezim boneka yang pro barat. Dalam beberapa operasi ,Washington banyak menargetkan pemimpin negara yang terpilih secara demokratis tetapi kebijakannya tidak pro barat dan cenderung melakukan proteksi seperti mengelola sumber dayanya sendiri, reformasi agraria, pembatasan investasi asing dan nasionalisasi perusahaan. Guatemala, Filipina, Laos, Kuba, Brasil, Vietnam, Yunani, Bolivia, Chili, El Savador, Nikaragua, Panama adalah negara negara di mana CIA beroperasi. Membangun dukungan kepada militer, membentuk dan melatih milisi, menciptakan ketidak-stabilan, kerusuhan, pembunuhan, menggulingkan rezim mengganti dengan rezim boneka demi mengekspor demokrasi dan kapitalis.

Paradoks negara Adidaya pemenang perang dunia kedua dalam upayanya mengekspor demokrasi justru dilakukan dengan cara yang tidak demokratis, menerabas batas kedaulatan suatu negara, bahkan dilakukan dengan kejam, menebar teror, menjatuhkan pemimpin negara yang sah.

Paradoks kembali terjadi dalam upaya Amerika melawan komunisme pada tahun 1955 sampai 1975, dan ini terjadi di dalam negerinya sendiri. Invasi militer Amerika ke Vietnam utara adalah invasi militer terang-terangan untuk menghalau rezim komunis yang didukung Uni Soviet, Cina dan negara negara blok timur lainnya. Amerika gagal total dalam memerangi tentara Vietnam Utara Vietcong. Dengan strategi gerilya dan hit and run mesin tempur canggih tentara Amerika ternyata tidak berguna di tengah medan hutan tropis yang lebat.

Tahun 1969 muncul pergolakan di dalam negeri Amerika, publik mulai mempertanyakan urgensi perang Vietnam yang banyak memakan anggaran negara dan banyaknya marinir Amerika yang dipulangkan dalam peti jenazah. Aktivis anti perang terus melakukan aksi untuk menghentikan perang Vietnam. Untuk menjawab keresahan publik Amerika, Hollywood menciptakan ilusi heroisme dengan membuat film Rambo, film yang sebenarnya bersifat propaganda yang memberikan ilusi seolah olah Amerika memenangkan perang Vietnam.

Serial Netflix yang berjudul The Trial of the Chicago 7 adalah serial satire yang diambil berdasarkan kisah nyata. Serial ini mengangkat pengadilan paling politis dan kotor di Amerika demi membungkam para aktivis anti perang Vietnam. Dalam serial ini tergambar bagaimana Jaksa Agung Federal memaksakan dengan menggunakan rekayasa hukum dan intimidasi terhadap peristiwa bentrokan polisi dengan kelompok anti perang dalam aksi unjuk rasa menentang perang Vietnam. Serial ini juga menggambarkan betapa ambisiusnya Amerika menghancurkan rezim komunis di Vietnam Utara sehingga harus membungkam para aktivis anti perang dengan rekayasa hukum dan pengadilan penuh manipulasi. Peristiwa ini lagi lagi menjadi paradoks ketika demokrasi diupayakan dengan cara acara yang justru tidak demokratis. Melakukan operasi rahasia di suatu negara, menyerang negara lain, membungkam dengan rekayasa hukum adalah paradoks demokrasi yang diciptakan oleh  negara yang kita sebut “Mbah-nya” demokrasi, Paman Sam. (Rino Sundawa Putra SIP MSI)

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Siliwangi (Unsil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *