Oleh Ahmad Aziz Firdaus
“Demokrasi yang bertanggung jawab merupakan vital bagi sehatnya perkembangan negara dan masyarakat kita. Sebaliknya, terbukti pula bahwa bila diabaikan akan berakibat fatal bagi negara dan bangsa.” (Bung Hatta Menjawab, 179)
Apa yang disampaikan Bung Hatta tidaklah berlebihan. Seperti itulah Bung Hatta menjawab soal politik umat, seraya mengingatkan besarnya akibat-akibat yang timbul dari praktik berdemokrasi yang kurang bertanggung jawab. Sebagai sebuah jalan bernegara, demokrasi bisa berjalan bersama nasionalisme meski keduanya bukan pasangan sehidup- semati.
Kebangsaan yang tidak dicerahkan oleh paham demokrasi, akan rentan dikorupsi menjadi alat bagi segelintir kaum ningrat dan penguasa untuk memenuhi kepentingannya. Sementara demokrasi membutuhkan kebangsaan agar prinsip-prinsip politik kerakyatan tumbuh bersemi secara kultural dalam kehidupan bernegara. Maka tidak heran ketika muncul dari berbagai pihak dengan adanya penundaan pemilu 2024 yang melanggar konstitusi. Ini menjadi potret nyata bahwa memang tantangan demokrasi ke depan sangatlah berat.
Belum lagi pada proses penyelenggaraan tahapan yang masih dipandang terdapat banyak pelanggaran baik itu yang bersifat pidana, administratif ataupun kode etik. Hal ini menjadi absurd dan tidak sesuai dengan semangat nasionalisme yang kerap kali digaungkan oleh founding father kita. Nyatanya, baik itu penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih masih belum benar-benar memahami arti demokrasi yang substansi.
Kenyataan tersebut sepertinya lebih relevan sebagai peringatan bagi kita sekarang daripada saat Moh. Hatta menuliskan pamflet politik tersebut. Manuskrip Menuju Indonesia Merdeka ditulis oleh Bung Hatta kepada kita semua sebagai pengingat bahwa segenap prinsip-prinsip kebangsaan seperti Pancasila, wawasan kebangsaan, dan Bhineka Tunggal Ika itu semua hanya akan relevan sebagai perekat persaudaraan di tengah perbedaan dalam naungan otoritas politik. Namun perbedaan ini kerap kali di lapangan menjadi polarisasi yang sangat kuat. Dapat terlihat dari bagaimana pelaksanaan pemilu 2019 lalu.
Senada dengan pemikiran dari Levitsky dan Ziblat (2018) bahwa demokrasi bisa mati, antara lain, karena pemimpin terpilih lewat proses demokratis kemudian haus kekuasaan dan merekayasa konstitusi untuk melanggengkan kekuasaannya. Indikator yang diungkapkan freedom house demokrasi Indonesia membaik karena adanya siklus pemilu yang teratur tetapi ketika nyatanya tiada henti masih ada yang mengusung penundaan pemilu di tengah tahapan yang sudah berjalan ini menjadi indikasi kuat bahwa pemilu kita tidak akan baik-baik saja.
Setidaknya dalam satu dekade ke belakang, kita dikepung wacana yang menandai era kita sudah lain dengan sebelumnya. Belum lagi kita juga sedang berhadapan dengan demokrasi di era digital. Ketika wacana Revolusi Industri 4.0 menggema di mana-mana, tak terelakkan lagi bahwa memang kita tengah berada dalam pusaran arus teknologi digital dan bayang-bayang kekuasaan kecerdasan buatan yang berdaya gusur luar biasa. Banyak jenis pekerjaan konvensional tengah dirambah oleh mesin. Manusia tengah berkontestasi dengan mesin sekarang. Dalam seketika KPU ataupun partai politik berlomba membuat digitalisasi pemilu agar bisa beradaptasi dengan tantangan dan kebutuhan zaman.
Tantangan Pemilu 2024
Penyelenggaraan pemilu serentak 2024 yang berkualitas dan berintegritas menjadi sebuah keniscayaan di tengah situasi politik yang tidak pasti seperti saat sekarang ini. Benedict Anderson berpidato tentang Indonesian Nationalism Today and in the Future, di Jakarta, Kamis (4/3/1999), nasionalisme Indonesia ”menuntut pengorbanan diri [dari para pemimpin], bukannya malah mengorbankan orang lain. Inilah mengapa tidak pernah terlintas dalam pikiran para pejuang kemerdekaan bahwa mereka memiliki hak untuk membunuh warga Indonesia lainnya; sebaliknya, mereka harus memiliki keberanian untuk dipenjara, dianiaya, dan diasingkan demi kebahagiaan dan kebebasan sesama warga negara di masa depan”.
Pidato Ben Anderson ini seyogianya menyadarkan semua pemimpin sekarang bahwa Republik Indonesia ini dibentuk dan didirikan dengan amat susah payah oleh para pendiri bangsa dengan pergulatan ide, pengorbanan, dan perjuangan. Jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan dibacakan pada 17 Agustus 1945, ide Republik Indonesia sudah lama dipikirkan dan dirumuskan secara tertulis oleh Tan Malaka melalui Naar de Republiek Indonesia pada tahun 1925, oleh Hatta melalui Indonesia Merdeka pada tahun 1928, dan oleh Soekarno melalui Mencapai Indonesia Merdeka pada tahun 1933.
Ketiga bapak pendiri bangsa itu juga menunjukkan spirit pengorbanan diri (self-sacrifice), melalui pengasingan dan penderitaan hidup, hanya demi meraih kemerdekaan Indonesia, sekalipun dengan pilihan dan orientasi perjuangan yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Perjuangan bersama untuk menumbuhkan kesadaran nasionalisme Indonesia muncul, terutama karena memiliki apa yang dikonseptualisasikan secara sempurna oleh Ben Anderson (1999) sebagai ”sebuah tujuan bersama dan sekaligus masa depan bersama”, dengan disatukan oleh ikatan tali ”persaudaraan horizontal yang dalam”.
Corak kebangsaan kita sejak awal tumbuh melalui hadirnya ruh politik kewargaan dan cita-cita demokrasi. Nasionalisme Indonesia seperti yang diuraikan oleh sejarawan Vijay Prashad (2008) dalam The Darker Nations: A People’s History of the Third World menyatu dalam arus gelombang besar berbagai proyeksi nasionalisme dunia ketiga. Suatu corak nasionalisme yang lahir dari rahim perlawanan rakyat terhadap kolonialisme untuk melampaui kesengsaraan rakyat pada masa kolonial.
Karena itu, upaya merawat semangat nasionalisme berdimensi politik kewargaan tersebut hanya akan langgeng ketika berjejak dalam pengutamaan terkelolanya harapan warga atas pemerintahan yang bersih dan demokratik. Praktik bernegara yang kredibel dan segenap warga menyaksikan bahwa para pengelola negaranya melibatkan mereka untuk bersama membersihkan negara dari anasir-anasir korup dan berusaha memuliakan kehidupan sosial warganya.
Permasalahan Bersama Menjelang Pemilu
Pudarnya sikap toleran, saling menghormati dan menyayangi di tengah masyarakat majemuk, serta adanya sebagian masyarakat yang mulai terpesona dengan ideologi transnasional, harus menjadi keprihatinan bersama.
Semua pihak, tanpa kecuali, harus segera menyalakan alarm kebangkitan ideologi radikalisme konservatif yang mengancam eksistensi NKRI. Apalagi telah begitu nyata menyeret sebagian masyarakat pada pusaran intoleransi, trust-claim, prejudice, suka menarasikan kebencian, menyebar hoaks, dan perilaku ekstrem.
Langkah penting yang harus segera dipikirkan untuk memperkuat imunitas nasionalisme dan menumbuhkan karakter toleran bagi masyarakat serta memompa semangat persatuan dan kesatuan NKRI adalah pendidikan. Sebab, pendidikan punya peran menentukan bagi perkembangan dan perwujudan individu. Pendidikan mempunyai korelasi tinggi dengan stratifikasi sosial. Pendidikan juga sangat strategis dalam mewujudkan pembangunan. Membentuk masyarakat berkebudayaan dan berperadaban tinggi.