Arsip Bukan Sekadar Kertas: Memahami Esensi dan Nilai Arsip

Pemerintahan16 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Saya masih ingat betul ketika masuk ke ruangan arsip di Kantor Samsat untuk mengambil BPKB dalam proses balik nama kendaraan bermotor.

Di depan ruangan terlihat tumpukan BPKB yang tidak tertata. Sedikit termenung lantas bertanya: Bagaimana cara mencari satu nama dalam ratus bahkan ribuan tumpukan BPKB ini? Sedangkan pelayanan kepada pemohon harus dituntaskan saat itu juga.

“Seikhlasnya aja a buat jasa cari arsipnya,” ujar pegawai ketika penyerahan BPKB yang memakan waktu beberapa jam.

Pengalaman serupa saya temukan juga di Kantor Pencatatan Penduduk, saat hendak melakukan pembaruan KTP, terlihat di sebelah ruang pelayanan terdapat tiga ruangan yang penuh dengan tumpukan kertas diselimuti dengan debu yang tebal. Saya jadi punya asumsi bahwa sepertinya potret seperti ini sesuatu yang wajar, toh ini hanya tumpukan kertas lampau saja.

Tak lama berselang muncul berita mengenai pemalsuan ijazah yang ramai diperbincangkan di sosial media. Saya jadi teringat ucapan dosen senior ketika mengisi kelas. “Kampus ini punya sejarah panjang, tapi jejaknya entah di mana…”

Seketika saya sadar bahwa catatan peristiwa atau kegiatan itu penting dalam sebuah perjalanan kehidupan baik di dunia sosial maupun dunia kampus.

Arsip — yang seharusnya menjadi penjaga ingatan justru sering kali dipinggirkan, dianggap sebagai tumpukan kertas tak penting, dan perlahan-lahan hilang ditelan waktu.

Di banyak kantor bahkan di lingkungan perguruan tinggi, arsip teronggok di sudut ruangan, penuh debu, bahkan tidak sedikit yang tercecer atau dibuang begitu saja. Ironisnya, banyak yang belum menyadari bahwa ketika sebuah dokumen dimusnahkan tanpa prosedur, yang lenyap bukan hanya informasi, tapi identitas dan memori institusi.

Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita mengenal apa itu Arsip?

Arsip bukan sekadar kumpulan dokumen atau surat menyurat. Ia adalah rekaman aktivitas, kebijakan, keputusan, dan sejarah yang disusun secara sistematis dan memiliki nilai guna. Tanpa arsip, bagaimana kita bisa membuktikan sebuah keputusan? Bagaimana kita bisa menyimpulkan tentang peradaban? Bagaimana kita bisa menelusuri sebuah kebijakan? Bagaimana kita bisa merangkai sejarah institusi secara utuh?

Musabab itulah, mengapa arsip sebagai penjaga keberlanjutan?

Dalam dunia akademik yang kerap berubah cepat — pimpinan berganti, kebijakan berubah, sistem diperbarui — arsip berfungsi sebagai jangkar. Ia menjaga keberlanjutan, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil hari ini bisa ditelusuri kembali esok hari. Tanpa arsip, kita terjebak dalam siklus “mulai dari nol” setiap kali ada perubahan.

Lantas, kapan kita akan peduli perihal arsip?

Sering kali kita baru mencari arsip ketika ada audit, akreditasi, sengketa, atau masalah administratif. Akan tetapi saat dicari, ternyata tidak ditemukan. Dan saat itulah semua mata baru menoleh ke arsip — sayangnya, sering kali sudah terlambat.

Kesimpulan: Disadari tanpa disadari, kita semua adalah arsiparis, mengapa? Ketika kita diberikan memori ingatan atas anugrah-Nya, guna menjalankan roda hidup dan kehidupan, maka saya percaya bahwa sudah waktunya kita mengubah cara pandang terhadap arsip. Ia bukan beban administratif, melainkan aset institusional. Ia bukan tugas satu orang, melainkan tanggung jawab bersama. Karena kalau bukan sekarang, kapan lagi? Dan kalau bukan kita, siapa lagi? Ah, jangan-jangan kita sendiri sudah kehilangan arsip tentang sejarah hidup kita sendiri? (Acep Taufiq Ahmad Muhajir)

Penulis merupakan Tenaga Kependidikan Universitas Siliwangi, menaruh minat pada bidang Pendidikan, Agama, Kebudayaan dan Kemasyarakatan. Aktif sebagai penggiat dari Simpul Majelis Masyarakat Maiyah Lingkar Daulat Malaya dan Sanggar Seni Astamekar. Saat ini menempuh Pendidikan di Maiyah University.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *