Demokrasi Deliberatif, Jalan Ketiga Konfrontasi Liberal-Komunitarian, Fenomena Radikalisme Beragama di Indonesia

Politik98 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Dampak sekulerisme (liberal) yang diprediksikan dapat menyebabkan hilangnya dimensi agama dalam diskursus kenegaraan, sampai saat ini tidak terbukti, paling tidak di Indonesia.

Peran agama secara kelembagaan maupun individu pada ranah diskursus publik semakin kental dan ekspresif. Namun konstelasi tersebut dirasa—kini—menjadi liar. Sistem politik mulai dipengaruhi—kalau tidak didominasi—dorongan entitas keagamaan (aspirasi), bahkan tekanan etnis dan atau kelompok agama tertentu (represi). Muncul regulasi bernuansa religius dan etnosentris, pengharaman sekularisme dan pluralisme, penolakan kepala daerah yang tidak seiman dengan kelompok mayoritas, pengkafiran terhadap sesama yang berbeda agama, merupakan sejumlah contoh politik identitas partikular. Hal ini menimbulkan ironi, masalah serius. Lanskap bangsa yang plural akan terancam dengan masifnya gerakan fundamentalis. Potensi disintegrasi sosial semakin menganga. Alih-alih menegasikan privatisasi agama, malah menyuburkan komunitarianisme.

Dalam penalaran publik, diperlukan keseimbangan antara hukum positif dan hukum “Tuhan” untuk menengahi pertentangan akal budi rasional dan sakralitas. Tidak dalam kerangka memisahkahkan negara dengan agama (sekuler), bukan pula menyatukan kedua unsur tersebut. Lebih kepada diferensiai (pembedaan) urusan negara dan urusan agama. Negara hadir untuk menegakkan hukum-demokrasi, dan demokrasi berdiri untuk melindungi ritual umat beragama. Negara dilarang mengintervensi agama secara substantif, pun agama tidak boleh menjadikan negara sebagai instrumen. Habermas—filsuf Jerman—menyebutnya demokrasi deliberatif, yaitu teori yang menerima diskursus rasional diantara para warga sebagai sumber legitimasi politik. Pandangan ini menekankan pentingnya prosedur komunikasi untuk meraih legitimas hukum di dalam proses pertukaran yang dinamis antara sistem politik dan ruang publik yang dimobilisasi secara kultural. Negara hukum harus mempertahankan netralitasnya, maka negara mesti berdiri pada prinsip-prinsip hukum yang rasional. Di sisi lain, argumen-argumen religius tetap diberikan ruang di dalam ruang publik politis (informal), karena tradisi religius mengandung kekuatan epistemik (nilai rasional) dan motivasional yang kaya. Agama harus memaksa diri untuk memperluas perspektifnya, dari primordial menjadi pandangan umum (universal) melalui proses penalaran publik sehingga kekayaan kognitif dan moral agama dapat berkontribusi bagi negara hukum modern. Ruang publik merupakan medium proses saling belajar, komunikasi transendensi, antara masyarakat sekuler dan masyarakat religius.

Praksis merengseknya doktrin komprehensif partikular (agama) ke dalam sistem politik merupakan ciri kemunduran peradaban bangsa dan keadaban publik. Seharusnya agama menjadi kekuatan kritis untuk merevolusi mental bangsa, tidak hanya menjadi dogma, apalagi patologi. Fenomena teror dan kekerasan atas nama agama dewasa ini kerap terjadi di bumi pertiwi. Kelompok religius mengklaim sifat keras mereka sebagai bukti kuatnya iman dan tindakan wajib sebagai misi yang diemban dari agamanya. Jangankan antara liberal dan komunitarian, antar agama, bahkan dengan sesama agama pun hal ini dapat menyebabkan tabrakan teologis. Bangsa ini semestinya sudah mulai bertarung menuju distingsi, bukan kembali menggoreng ideologi. Diskursus falsafah sudah selesai diperdebatkan oleh para pendiri bangsa dengan lahirnya Pancasila.

Perhatian bangsa telah tersedot gerakan fundamentalisme agama. Masyarakat dengan perangkat negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) tak henti memperdebatkan rumusan ideal untuk dijadikan solusi permasalahan bangsa yang kian pelik. Sementara itu, para oportunis—kapitalis—mengamati dan menjadikannya ceruk pasar baru untuk mewujudkan agenda besar mereka, fundamentalisme pasar. Mereka berambisi menjadikan mekanisme pasar bukan hanya sebagai prinsip pengatur kinerja bidang ekonomi, tetapi sebagai pusat seluruh kehidupan dalam tatanan bermasyarakat. Hegemoni pasar ini pada gilirannya dapat meracuni ruang publik politis, tempat warga merealisasikan peran demokratisnya dalam mengontrol pemerintah. Akibatnya ruang publik hilang fungsi sebagai ruang politis yang berdaulat terhadap kepentingan survival, melainkan lenyap dalam dominasi pasar yang diterima oleh individu dengan sukarela. Media dimanipulasi guna menjamin kepentingan-kepentingan privat kapitalis yang telah berinvetasi besar-besaran. Elit media berkolaborasi dengan elit pasar dan elit birokrasi, mengubah informasi, komentar, berita, dan konten menjadi komoditas yang dapat dipertukarkan dengan uang. Media sosial diubah kodratnya menjadi transaksi virtual dengan menyelipkan acara-acara—seolah—sosial, romantis, dan mistis yang melemahkan nalar publik. Ruang publik otonom sulit ditemukan dalam dominasi pasar itu, karena media massa dan forum-forum diskusi lebih banyak melayani kepentingan konglomerasi yang menyokong mereka daripada mencerminkan aspirasi masyarakat.

Dalam buku yang berjudul Menyelamatkan Ruang Publik, Herry Priyono mengatakan apabila diagnosis pasar tersebut memiliki kedekatan pola empirik yang terjadi, ada kemungkinan beberapa implikasi yang perlu dicermati. Pertama, ruang publik bukan lagi merupakan arena pembentukan public civility (keadaban publik), melainkan sekadar ranah komersial (commercial dominant). Kedua, pembentukan watak sosial masyarakat semakin tidak lagi ditentukan oleh persoalan dan pertanyaan seputar kewargaan (citizenship), melainkan oleh persoalan dan pertanyaan seputar konsumen (consumership). Evolusi watak kultural masyarakat tidak lagi dibentuk oleh urusan dan persoalan yang menyangkut nilai-nilai kewargaan, kesetaraan, pelayanan, serta kepentingan umum, melainkan oleh urusan komodifikasi. Oleh karena itu, kinerja dan arah ruang publik ke depan juga kian tergantung pada sejauh mana ia mendatangkan (profitable), dapat dijajakan (saleable), dan dapat diperjualbelikan (marketable). Ketiga, pada akhirnya, akses kepada ruang publik, berupa pendidikan bermutu, tata kota yang baik, kesehatan, lingkungan hidup, dan sebagainya bukan lagi lagi bergantung kepada hak sebagai warga negara, melainkan pada kekuatan daya beli (purchasing power) atas barang/jasa yang dicakup dalam konsepsi ruang publik.

Sudah saatnya bangsa ini kembali pada Pancasila, yang secara substansial merepresentasikan gagasan yang ditawarkan Habermas, yaitu demokrasi deliberatif. Negara menjamin kepastian dan kenetralan hukum melalui kebebasan setiap warga dalam memeluk agama (sila pertama), menjunjung keadaban publik dan humanisme (sila kedua), menerima pluralisme sebagai anugerah dan toleransi sebagai sabuk integrasi sosial (sila ketiga), meningkatkan transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat dalam perumusan dan penyelenggaraan kebijakan pemerintahan (sila keempat), serta menjamin kesetaraan akses masyarakat terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sesuai dengan amanah UUD 1945 (sila kelima). Dengan kembali menyepahami dan menyepakati prinsip-prinsip ini, tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan kembali pada equilibiriumnya. Dalam konteks kehidupan beragama, mestinya kita menyadari bahwa semua agama memiliki kesamaan ajaran yang mengandung nilai-nilai sosial yang luhur, menjadi berkah dan rahmat (kemaslahatan) bagi seluruh umat manusia. Perbedaannya hanya pada letak ritual, hal tersebut mesti dipandang sebagai kekayaan tradisi (budaya) yang harus dirawat dan dilestarikan sebagai corak lebih dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa yang lebih maju. (Danial Kusumah)

Danial Kusumah merupakan Dosen di Institut Agama Islam Tasikmalaya sekaligus Direktur Soekapoera Institute—Lembaga Kajian Ekonomi, Sosial, Sejarah, dan Budaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *