Kondisi Kebencanaan di Indonesia serta Kaitannya dengan Kampus Siaga Bencana

Lingkungan85 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Lokasi Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Pergerakan lempeng di Indonesia berkisar antara 5-12 cm per tahun, tentunya berdampak pada frekuensi kejadian gempa bumi yang sangat sering terjadi di Indonesia. Diperparah lagi, karena pertemuan lempeng tersebut yang kebanyakan berada di tengah laut, maka jika kejadian gempa diatas magnitudo 6,0 skala richter akan sangat berpotensi terjadi bencana tsunami. Selain bencana gempa bumi dan tsunami, efek lain dari pertemuan lempeng adalah banyak terciptanya Gunung Api.

Sebaran Gunung Api di Indonesia berada di hampir seluruh wilayah yang dekat dengan pertemuan lempeng, seperti di sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, serta Maluku. Sebaran gunung api tersebut membuat Indonesia sangat rentan terhadap bencana letusan gunung api, selain itu juga dengan morfologi yang beragam membuat Indonesia sangat rentan dengan bencana tanah longsor. Jenis-jenis bencana diatas merupakan bencana Geologis, sedangkan bukan hanya itu, Indonesia juga sangat rentan akan bencana Meteorologi, seperti banjir, kekeringan, serta angin rebut, sebagai konsekuensi logis dari kondisi Geografis wilayah Indonesia.

Seperti yang diketahui, kejadian bencana yang sangat membekas di masyarakat Indonesia adalah Gempa Bumi dan Tsunami Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Kala itu menurut data dari United States Geological Survey (USGS) gempa ber-magnitudo 9,1 skala richter yang ber-episentrum di lepas pantai sebelah barat Provinsi Aceh, menimbulkan gelombang tsunami dengan gelombang tertinggi di beberapa wilayah mencapai 30 meter. Kejadian tersebut menurut sumber data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menimbulkan korban jiwa mencapai 236.000 orang di beberapa negara yang terdampak, dan terkhusus di Indonesia mencapai 173.000 orang, serta menjadi salah satu bencana alam terburuk dalam sejarah pada abad ke 21.

Kondisi Kebencanaan di Jawa Barat dan Kota Tasikmalaya

Provinsi Jawa Barat memiliki banyak potensi bencana, seperti gempa bumi, tsunami, gunung api, longsor, banjir, kekeringan, angin ribut dan lain sebagainya. Jawa Barat sebelah selatan di bagian lautan berbatasan langsung dengan pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia, yang rentan menimbulkan bencana gempa bumi dan tsunami.

Di daratan Jawa Barat memiliki banyak Patahan atau Sesar, seperti Sesar Pelabuhanratu, Sesar Cimandiri, Sesar Cugenang, Sesar Lembang, Sesar Jatiluhur, Sesar Cipeles, Sesar Baribis, Sesar Jampang, serta Sesar Citanduy yang berpotensi dapat bergerak sewaktu-waktu dan menimbulkan bencana gempa bumi. Jawa Barat juga memiliki banyak Gunung Api. Sebaran gunung api dimulai dari Gunung Gede, Gunung Salak, Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Patuha, Gunung Papandayan, Gunung Galunggung serta Gunung Ciremai yang dapat meletus sewaktu-waktu.

Ditambah dengan kondisi morfologi bergelombang di wilayah tengah dan selatan yang membuat Jawa Barat juga sangat rentan akan bencana tanah longsor. Mayoritas wilayah di pantai Utara Jawa Barat memiliki morfologi datar yang menyebabkan rawan terkena bencana banjir dan banjir rob. Terkhusus untuk Kota Tasikmalaya memiliki resiko yang cukup besar untuk bencana Gempa Bumi dan letusan Gunung Api dari Gunung Galunggung. Terakhir kejadian bencana di Jawa Barat yang cukup mengambil perhatian masyarakat Indonesia adalah Gempa Bumi di Cianjur pada tanggal 21 November 2022. Gempa dengan magnitudo 5,6 skala richter tersebut menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) ber-episentrum di darat akibat pergerakan Patahan atau Sesar Cugenang, yang berlokasi tidak jauh dari pusat Kota Kabupaten Cianjur.

Menurut sumber Pemerintah Kabupaten Cianjur kejadian tersebut mengakibatkan korban jiwa lebih dari 600 orang, dan kebanyakannya berada di Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur, yang diakibatkan oleh tertimpa bangunan. Bencana serupa tentunya tidak menutup kemungkinan bisa saja terjadi di Kota Tasikmalaya yang di dalamnya terdapat Kampus Universitas Siliwangi. Kampus yang memiliki populasi cukup besar, kemudian jika berada di lokasi serta waktu yang sama pada saat jam kerja, jika tidak ditanggulangi dengan baik maka dapat melipatgandakan kemungkinan jumlah korban jiwa.

Populasi Universitas Siliwangi

Menurut data dari Unit Penunjang Akademik Teknologi Informasi dan Komunikasi (UPA TIK) Universitas Siliwangi, per bulan Mei 2023 jumlah mahasiswa aktif Universitas Siliwangi kurang lebih sebanyak 14.940 mahasiswa. Selanjutnya pelayanan akademik maupun non-akademik di Universitas Siliwangi menurut sumber dari Biro Umum dan Keuangan (BUK) Universitas Siliwangi, per bulan Mei 2023 dilaksanakan kurang lebih oleh 650 orang pegawai, yang terdiri dari Dosen dan Tenaga Kependidikan.

Jika ditotalkan, jumlah mahasiswa dan pegawai Universitas Siliwangi per bulan Mei 2023 kurang lebih 15.590 orang. Banyaknya populasi Civitas Akademika yang terkonsentrasi di Wilayah Kampus Universitas Siliwangi terutama pada jam kuliah atau jam kerja, dapat melipatgandakan resiko akan jatuhnya korban jiwa ketika terjadi bencana. Bencana yang rawan terjadi dan dapat berdampak ke Kampus Universitas Siliwangi tentunya bencana Gempa Bumi, Letusan Gunung Api serta Kebakaran. Sangat mengerikan jika dibayangkan suatu saat ada gempa bumi dengan magnitudo di atas 6 skala richter menguncang Kota Tasikmalaya.

Di mana pada saat yang sama sedang dalam jam kuliah atau jam kerja di kampus Universitas Siliwangi, ketika semua ruangan kelas penuh dengan Mahasiswa dan Dosen, ruangan kantor penuh dengan Tenaga Kependidikan, maka tidak akan terbayang situasi mengerikan yang akan ditimbulkan sebagai akibat gempa bumi tersebut. Tentunya itu baru dari satu jenis bencana saja yaitu gempa bumi, belum dari ancaman bencana gunung api dan bencana kebakaran yang kemungkinan resiko kejadiannya tidak bisa disepelekan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sudah siapkah Universitas Siliwangi dalam menghadapi kemungkinan bencana tersebut? Sudah layakkah untuk disebut Kampus Ramah Bencana? Jawabannya mari kita kaji bersama berdasarkan beberapa ketentuan di bawah.

Kampus Siaga Bencana

Bencana dapat datang sewaktu-waktu tanpa kita ketahui, tentunya jika kejadian tersebut tidak kita persiapkan untuk menghadapinya, maka jatuhnya korban jiwa dalam jumlah yang besar tidak dapat dihindari. Lingkungan kampus yang terdapat banyak orang di waktu yang sama pada saat jam kuliah ataupun jam kerja, tentunya akan melipatgandakan risiko jatuhnya korban jiwa. Kampus harus sudah mempunyai Standart Operational Prosedur (SOP) penanggulangan bencana dalam menghadapi berbagai kemungkinan bencana yang dapat terjadi.

Sebagai salah-satu acuan dalam persiapan penanggulangan bencana di lingkungan kampus adalah Siklus Penanggulangan Bencana yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Terdapat 3 tahapan utama dalam siklus penanggulangan bencana, yang pertama adalah Pra bencana, yang kedua Saat Terjadi Bencana (Tanggap Darurat), dan yang ketiga adalah Pasca Bencana (Pemulihan).

Secara terperinci, untuk tahap pertama Pra-Bencana terbagi kedalam dua bagian, yaitu situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi bencana. Pada saat situasi tidak terjadi bencana jika diadopsi pada lingkungan kampus Universitas Siliwangi dapat berupa memiliki bangunan yang tahan gempa dan bencana lain, memiliki jalur dan rambu evakuasi serta titik kumpul ketika terjadi bencana, adanya tangga darurat untuk bangunan yang lebih dari satu lantai, adanya alat Early Warning System (EWS) atau peringatan dalam bentuk alarm atau bentuk lainnya pada saat terjadi bencana, sosialisasi terkait jenis bencana yang mungkin terjadi untuk peningkatan kesiapsiagaan bencana, terjadwalnya kegiatan simulasi bencana, SOP evakuasi sumberdaya dan penanganan korban, kerjasama dengan BPBD, BASARNAS, fasilitas kesehatan dan pihak lain yang terkait, serta pengetahuan yang cukup terkait kebencanaan bagi para civitas akademika di lingkungan kampus.

Pada situasi terdapat potensi bencana dapat berupa pelaksanaan simulasi bencana, pengecekan terhadap keberfungsian alat EWS atau alarm bencana, sosialisasi yang lebih intensif terkait resiko bencana untuk peningkatan kesiapsiagaan bencana pada setiap kegiatan kampus, serta lain sebagainya. Kemudian pada tahap kedua atau saat terjadi bencana (Tanggap Darurat) kampus harus melaksanakan evakuasi sumberdaya, penanganan pertama pada korban, koordinasi dengan pihak terkait dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BASARNAS), fasilitas kesehatan terdekat serta pihak lain yang terkait, terkait penanganan lanjutan.

Terakhir pada situasi Pasca Bencana (Pemulihan) terdapat dua bagian, yaitu Rehabilitasi dan Rekontruksi. Pada tahapan Rehabilitasi kampus harus mampu memulihkan sarana-prasarana vital yang bermasalah atau mengalami kerusakan sebagai dampak bencana, penyediaan pelayanan trauma healing bagi para korban, pembuatan tenda darurat dan tenda kesehatan bagi penampungan korban, pembuatan WC darurat, serta lain sebagainya.

Selanjutnya pada tahapan Rekontruksi yaitu pembangunan kembali seperti sediakala semua sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana yang terjadi, kemudian normalisasi sendi-sendi kehidupan di kampus seperti sedia kala, serta lain sebagainya. Semua tahapan pada siklus penanggulangan bencana di atas tentunya harus dimiliki dan dikuasai oleh pihak kampus, sebagai perwujudan Kampus Siaga Bencana. Masih banyak hal tentunya yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama untuk mewujudkan Universitas Siliwangi sebagai Kampus Siaga Bencana, mari kita bangun dan wujudkan bersama. (Setio Galih Marlyono, M.Pd.)

Setio Galih Marlyono, M.Pd. adalah Dosen Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi sekaligus Kepala Pusat Studi Bencana dan Lingkungan HidupLPPM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *