Menyemai Nilai-nilai Pancasila di Perdesaan

Sosial100 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Keppres Nomor 24 Tahun 2016 yang ditandatangani Presiden Jokowi menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Sebelumnya, 1 Oktober ditetapkan Presiden Soeharto sebagai Hari Kesaktian Pancasila melalui SK Nomor 153 Tahun 1967 yang terbit 27 September 1967. Di era Orde Baru (1966-1998), nyaris semua orang dipaksa mengenal Pancasila.

Penetapan Hari Kesaktian Pancasila dan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dilakukan secara doktrinatif dan massif. Penataran P4 sebagai cara rezim orde baru yang dipimpin Jenderal Soeharto untuk menanamkan Pancasila ke dalam benak warga negara. Pancasila dipaksa untuk ditanamkan kuat-kuat sehingga membekas di pikiran anak-anak bangsa kala itu.

Kini, setelah Penataran P4 dihapuskan menyusul bergulirnya reformasi 1998 dan kelahiran Pancasila diperingati resmi, kita tengah mencari model dan bentuk baru bagi penyemaian benih pengetahuan, kesadaran, dan kesiapan untuk ber-Pancasila. Presiden Jokowi telah membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila melalui Perpres No.7/2018 sebagai lembaga khusus yang berwenang menyemai nilai-nilai Pancasila kepada seluruh aktor negara dan rakyat Indonesia.

BPIP merupakan lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan ini memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan. Selain itu, BPIP juga melaksanakan penyusunan standarisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/ lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya (Ayat 3).

Suatu cakupan tugas yang sangat strategis dan komprehensif dari BPIP dalam menjalankan penyemaian Pancasila ke dalam pemerintah dan masyarakat Indonesia. Di tengah pencarian metodologi penyemaian Pancasila, sejauh mana Pancasila dipahami warga desa?

Warga desa

Warga desa yang tinggal di perdesaan adalah mayoritas penduduk Indonesia. Secara sosio-antropologis, biasanya terdapat perbedaan antara warga desa dan kota. Orang kota memiliki ciri spesialisasi dari variasi pekerjaan, penduduknya padat dan bersifat heterogen, norma-norma yang berlaku tidak terlalu mengikat, dan kurangnya kontrol sosial dari masyarakat karena gotong royong menurun. Sedangkan orang desa memiliki ciri jumlah penduduk tak terlalu padat dan bersifat homogen, kontrol sosial masih tinggi, gotong royong masih kuat, dan kekeluargaan masih ada.

Dalam kehidupan orang desa sehari-hari, umumnya gotong royong dan keguyuban antar warga menjadi pembeda dengan orang kota secara sosial budaya. Orang desa cenderung saling mengetahui dinamika kehidupan warga lainnya melalui mekanisme sosial yang formal seperti pertemuan rutin dalam masyarakat, maupun yang informal seperti lewat gosip dan bisik-bisik tetangga. Perpaduan antara mekanisme formal dan informal ini menjadi mekanisme kontrol sosial yang efektif berlaku pada masyarakat perdesaan dari waktu ke waktu.

Jika ada warga yang mengalami kemajuan ekonomi dengan mendapatkan rejeki lebih, warga sedesa biasanya segera mengetahui. Terbatasnya ruang gerak warga desa mengingat jumlah ruas jalan desa dan fasilitas umum lainnya di desa lebih terbatas dibandingkan kota. Pemilikan kendaraan baru, perbaikan rumah, dan peningkatan kekayaan lain dari warga desa segera diketahui warga desa lainnya karena terbatasnya ruang gerak warga desa.

Kalau ada warga yang mendadak hidup mewah di luar kebiasaan warga, maka informasi atau gosip segera beredar di tengah masyarakat. Seringkali informasinya berkurang akurasinya. Tak jarang pergunjingan warga segera menyeruak di jagat pembicaraan warga desa. Positifnya dari gosip di desa adalah kuatnya kontrol sosial sesama warga desa. Warga yang ekonominya lebih, biasanya menggelar syukuran mengundang makan-makan tetangga dan saudara di desa. Terbentuklah tradisi yang melahirkan solidaritas sosial warga desa.

Kuatkan literasi

Komitmen kita sebagai bangsa mestinya adalah menguatkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Khusus untuk wilayah perdesaan, proses penguatan peran Pancasila dalam kehidupan masyarakat mesti diarahkan agar sejalan dengan pengembangan sosial budaya masyarakat desa tersebut. Unsur kebudayaan yang paling relevan adalah sistem religi yang dianut mayoritas dan berjalan di tengah masyarakat desa. Dinamika kehidupan religi warga desa dapat menjadi arena yang efektif bagi penyemaian nilai-nilai Pancasila.

Secara umum, warga desa yang hidup di wilayah perdesaan adalah orang-orang yang sudah terbiasa hidup ber-Pancasila dalam praktik. Penguatan yang diperlukan adalah pada aspek literasi tentang pentingnya pelaksanaan nilai-nilai kehidupan bersama masyarakat Indonesia. Mengenai kepedulian sosial kepada sesama dan mau memikirkan serta bertindak kolektif untuk keselamatan dan kenyamanan bersama warga yang lain menjadi muara dari penyemaian Pancasila di desa.

Dalam hal ini, BPIP perlu mengembangkan program dan kegiatan dengan fokus kepada warga desa di perdesaan. Keterlibatan warga desa yang sebagian besar bekerja sebagai petani, buruh, nelayan, perajin, peternak, usaha kecil menengah, dan lain-lain dalam penyemaian Pancasila harus diutamakan. Sejumlah kegiatan menguatkan Pancasila dapat dilakukan melalui pertemuan rutin warga desa, seperti pengajian yang diisi penyemaian nilai-nilai Pancasila.

BPIP dapat menggandeng para guru ngaji atau ustadz/ustadzah di kampung sebagai guru kader Pancasila yang mengisi materi dalam pengajian warga. Selain materi yang bersifat sosial religius bisa disisipkan materi nilai-nilai Pancasila yang kurikulum dan bahan tertulisnya disiapkan BPIP. Menjadikan Pancasila sebagai energi yang hidup dan berkembang dalam kehidupan sosial budaya masyarakat menjadi orientasi utama dari proses penyemaianannya di desa-desa.

Benih-benih radikalisme, sikap intoleran, dan mau menang sendiri dari warga bisa dicegah sedini mungkin. Kita perkuat program dan kegiatan penyemaian Pancasila untuk warga desa di Indoneisia. Selamat Hari Lahir Pancasila 1 Juni. Merdeka! (Usep Setiawan)

Usep Setiawan adalah Ketua Dewan Eksekutif IKA Antropologi Universitas Padjadjaran, Bandung. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *