Perilaku Konsumtif di Bulan Ramadhan Bisa Memicu Inflasi

Ekonomi117 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Rekam jejak inflasi Tasikmalaya dari waktu ke waktu relatif konsisten yakni  sering berada berada di atas inflasi Jawa Barat bahkan lebih tinggi dari rata-rata inflasi nasional. Menjelang bulan Ramadhan tahun ini (Februari 2023) inflasi Kota Tasikmalaya sebesar 0,41 persen (BPS Kota Tasikmalaya 2023). Penyumbang terbesar inflasi tersebut  adalah pangan khususnya komoditas beras. Pada periode yang sama angka ini lebih tinggi dari inflasi Jawa Barat yang hanya 0,35 persen dan sekaligus melampaui tingkat inflasi Nasional yang hanya mencapai 0,16 persen

Salah satu pemicu tingginya inflasi adalah pola perilaku konsumtif. Pola perilaku dan budaya konsumsi orang Indonesia termasuk konsumtif, salah satu indikatornya kita bisa menyaksikan berseliwerannya kendaraan mewah produk Eropa di jalan-jalan di Indonesia lebih banyak dibanding di jalan-jalan di negara asalnya (kendaraan itu dibuat). Secara sepesifik pola konsumtif masyarakat Tasikmalaya tercermin dari proporsi kredit konsumtif mencapai kisaran 50%, bahkan ada bank yang realisasi kredit konsumsinya lebih dari 80%. Indikasi lain terlihat masih suburnya lembaga pendanaan informal Kosipa, Bank Emok, Swamitra dan Kospin jasa yang nasabahnya umumnya peminjam untuk keperluan konsumsi. Bahkan perilaku konsumtif ini juga terbawa ketika melakukan perjalanan spiritual ibadah haji dan ibadah umrah, yang tidak melupakan belanja-belanja.

Di bulan suci Ramadhan ini Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) perlu mewaspadai, pola konsumtif masyarakat yang disebabkan berbagai kebiasaan. Misalnya menjelang Ramadhan terbiasa dengan belanja besar-besaran, juga melakukan tradisi “Munggahan”, yakni makan Bersama baik itu bersama keluarga, bersama kerabat, bersama rekan kerja, (dan sekarang ditambah  teman group WA). Untuk berbuka puasa biasanya dipersiapkan dengan dengan menghidangkan berbagai menu istimewa, dan ada kebiasaan buka bersama. Buka bersama ini sebetulnya baik baik saja, karena banyak manfaatnya (sehingga pemerintah tidak perlu melarangnya), walau kadang menyebabkan hidangan yang disiapkan di rumah tidak termakan. Disamping itu ada tradisi “ngabuburit”, yang biasanya ditandai dengan belanja aneka makanan. Menjelang berakhirnya bulan Ramadhan ada lagi kesibukan menyambut Idul Fitri yang ditandai dengan belanja besar-besaran sehingga mal jauh lebih ramai dibanding tempat peribadatan. Setelah Idul Fitri masih berlanjut dengan kegiatan halal bi halal, yang kegiatanya tidak berjalan kalau tidak ada konsumsi.

Pola konsumsi yang tinggi sesungguhnya tidak menjadi masalah, apabila diimbangi dengan pasokan yang cukup, karena tingginya konsumsi dapat memberikan dorongan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi jika tingginya konsumsi tidak diimbangi pasokan, akan menimbulkan ketidakseimbangan, sehingga harga komoditas akan mencari keseimbangan baru mengikuti hukum ekonomi yakni harga akan naik. Faktanya pola perilaku konsumtif masyarakat Priangan Timur tidak dibarengi dengan pasokan yang dipenuhi oleh hasil produksi sendiri, Berdasarkan data Dinas Pertanian, produksi beras Tasikmalaya hanya mampu untuk memenuhi 60% dari total kebutuhan beras masyarakat. Begitu  juga untuk komoditas telur ayam ras, Priangan Timur produksinya terbatas, yakni produksi di Kabupaten Tasikmalaya mencapai 7.901 ton, dan Kabupaten Ciamis sekitar 7.650 ton per tahun. Dari total produksi tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan telur ayam di daerah Priangan Timur sekitar 8% saja. Untuk komoditas hortikultura terdapat beberapa jenis komoditas yang  di produksi di Kota Tasikmalaya antara lain: aneka cabai, kacang panjang, terong lalab, timun, dan tomat.. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, dari hasil produksi hortikultura tersebut hanya mampu memenuhi kurang dari 50% kebutuhan masyarakat.

Ketidakseimbangan konsumsi dengan pasokan ini diperparah oleh pola distribusinya, yakni beberapa komoditas produksi lokal, sebagian digunakan memasok kebutuhan daerah lain. Misalnya beras, dari total produksi yang hanya mampu memenuhi 60% kebutuhan Tasikmalaya, sebagiannya (lebih dari 40%) dijual ke luar Tasikmalaya, sehingga mengakibatkan pasokan beras di Tasikmalaya sangat kurang. Berdasarkan data Dinas Peternakan, hasil produksi ayam ras pedaging, khususnya Ciamis (produsen terbesar se-Indonesia), lebih dari 80% mengalir ke luar Priangan Timur.

Inflasi ini perlu dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak terlalu tinggi, karena akan menjadikan pertumbuhan ekonomi yang semu, yakni pertumbuhan ekonomi yang tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena secara riil daya belinya menurun. Mengendalikan inflasi merupakan tanggungjawab bersama seluruh komponen masyarakat. Pemerintah bertugas: 1) mendorong peningkatan produksi komoditas juga mendorong masyarakat memanfaatkan  halaman yang dimiliki dengan menanam: cabe, bawang daun, seledri, tomat, jahe, terong, jinten, kemangi, kangkung, saosin, kunyit, jamur dan berbagai jenis buah-buahan dan tanaman lainnya. 2) Memantau kinerja saluran pemasaran sehingga tidak mengambil marjin terlalu tinggi. 3) Mengawasiterjadinya penimbunan. 4) Membuat regulasi untuk menjaga stabilitas harga termasuk melakukan operasi pasar ketika pasokan kurang. Bank Indonesia bersama Pemda melalui TPID memantau perkembangan harga dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah dan instansi terkait lainnya Bulog mengendalikan pasokan konmoditas, yakni membeli pada musim panen dan menyalurkan  kembali saat permintaan meningkat. Para pedagang menjalankan usahanya  dengan bijak yakni tidak melakukan penimbunan. Para petani/peternak meningkatkan kapasitas produksinya di momen meningkatnya permintaan dan menjual hasil produksinya di pasar lokal. Para kiayi, da’i, alim ulama memberikan pencerahan kepada umat untuk tidak berlebihan dan dapat hidup hemat tapi dermawan. Para akademisi melakukan kajian dan memberi pencerahan pada masyarakat. Tokoh masyarakat memberikan ketauladanan dengan menunjukkan pola konsumsi yang bijak. Masyarat konsumen dapat mengendalikan diri dengan membiasakan hanya belanja sesuai kebutuhan.

Pola konsumsi berlebihan di bulan Ramadhan sesungguhnya bertentangan dengan semangat puasa yang mengajarkan semangat menahan diri. Menahan diri dari makan dan minum serta segala hal lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, sehingga logikanya konsumsi di bulan Ramadhan itu lebih sedikit dibanding dengan di bulan lain. Terkait hal ini saya ingat cerita Jean dan Garry, penganut ajaran mormonisme, sebuah sekte Kristiani. Pasangan dari USA ini rajin puasa seminggu sekali. Selama puasa, sejumlah pengeluaran yang biasa digunakan untuk makan, mereka sumbangkan untuk kegiatan bakti sosial. Ketika mereka ke Indonesia, Jean berkata kepada kenalannya: Alangkah hebatnya kalian umat muslim, melakukan puasa selama 30 hari. Pasti banyak sekali dana yang bisa dibagikan pada orang-orang yang kurang beruntung. Kita dapat bayangkan luar biasanya dana yang bisa terkumpul jika lebih dari 200 juta muslim Indonesia berpuasa seperti yang diduga oleh Jean.

Seharusnya di bulan Ramadhan umat Islam dapat menahan diri untuk tidak konsumtif dengan belanja berlebihan: ”kurangi belanja dan perbanyak sedekah”. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Al-Qur’an mengajarkan untuk tidak berlebihaan: ”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS; 7: 31). Ayat ini memerintahkan kepada kita untuk mecukupkan diri, yakni melakukan konsumsi sesuai kebutuhan, tidak menuruti keinginan hawa nafsu. Oleh karena itu, marilah kita berperilaku sebagaimana Tuhan berperilaku kepada kita, yakni ketika kita berdoa, meminta bermacam-macam, maka Tuhan hanya akan mengabulkan apa yang sesungguhnya kita butuhkan, bukan sesuatu yang kita inginkan. Supaya kita beruntung maka keinginan itu perlu kita kendalikan sesuai dengan firman Nya: ”Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya (QS; 79:40) maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya) (QS; 79:41). (Prof. Dr. H. Kartawan, SE., MP)

 Prof. Dr. H. Kartawan, SE., MP. adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Siliwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *