RADAR TASIKMALAYA – Sekitar tahun 323 sampai 350 SM Aristoteles menulis buku Politica. Dalam pemikiran filosofisnya tentang sebuah negara dan bagaimana menciptakan sistem kekuasaan negara yang ideal, atau lazim kita sebut dengan pemerintah. Aristoteles mengurai tiga bentuk pemerintahan. Monarki, Teokrasi dan Politea (demokrasi).
Aristoteles Adalah peletak dasar kajian filsafat politik barat. Semua sistem politik yang pernah mengatur pemerintahan di berbagai belahan dunia adalah praktik pemerintahan yang sudah lama menjadi pergulatan pemikiran Aristoteles. Di samping itu ada filsuf filsuf lain seperti Plato, Polybus, Cicero yang memetakan bentuk bentuk pemerintahan.
Menurut pandangan Aristoteles Monarki Adalah sistem yang memberi kekuasaan pada satu orang. Tidak ada ruang diskusi dalam menciptakan hukum dan kebijakan. Semua berjalan efektif dan efisien tanpa kegaduhan. Tetapi kecenderungan atau efek samping dalam pemerintahan ini Adalah Tirani. Kekuasaan terpusat dan ekslusif maka ujungnya dia berkuasa dan memerintah hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Kedua Adalah Teokrasi di mana kekuasaan dan pemerintahan diberikan kepada sekelompok orang, kaum bangsawan, kaum intelektual, cendikia atau cerdik pandai dan kaum agamawan. Pemerintahan berada di tangan yang tepat karena diisi oleh orang orang kompeten. Tetapi Aristoteles mengatakan kecenderungan dari bentuk ini adalah kekuasaan menjadi oligarki. Kekuasaan akan digunakan untuk menciptakan monopoli keuntungan bagi kelompok tertentu.
Ketiga Adalah Politea di mana kekuasaan dilegitimasi oleh banyak orang dan dipandu oleh konstitusi. Inilah gambaran demokrasi yang hari ini kita “nikmati”. Bentuk kekuasaan atau pemerintahan ini dianggap paling ideal karena melibatkan banyak orang sebagai pemberi legitimasi pada penguasa dan hukum dijadikan panglima untuk dipedomani bersama sehingga mencegah dari praktik tirani dan oligarki.
Tetapi ekses atau kecenderungan dari bentuk ini adalah mobokrasi atau anarkisme. Mobokrasi berasal dari kata Yunani Mo artinya massa atau orang banyak dan krasi artinya kekuasaan .
Aristoteles menyadari bahwa rentannya sistem ini terletak pada keterlibatan banyak orang atau rakyat, keterlibatan kelompok politik dan ideologi rentan menciptakan ketidak-stabilan politik, apalagi ketika rakyat dianggap pemilik mandat menuntut hak dan merasakan ketidak-adilan. Yang terjadi selanjutnya adalah kekuasaan massa, kebijakan ditentukan oleh amarah, kerusuhan, anarkisme dan absennya hukum. Realitas inilah yang kita hadapi hari ini.
Demokrasi adalah sistem yang kita tentukan untuk membentuk pemerintahan sejak republik ini berdiri. Sejarah mencatat aksi massa dan ketidak-stabilan politik di negeri ini yang terus berulang. Peristiwa pembubaran Konstitueante tahun 1955-1959 dengan dekrit presiden oleh Soekarno dan mengganti dengan demokrasi terpimpin adalah episode pertama in-stabilitas politik di negeri ini.
Perdebatan ideologis dalam merumuskan UUD antara kelompok nasionalis, Islam dan Sosialis terus meruncing bahkan konflik ini tidak hanya muncul di parlemen tapi juga mempengaruhi Kabinet. Soekarno memutuskan menggunakan dekrit Presiden yakni membubarkan konstituante/parlemen, Kembali ke UUD 1945 dan menghapus UUD Sementara 1950.
Soekarno pada waktu menyadari demokrasi liberal tidak cocok dengan Indonesia karena menciptakan ketegangan antar kelompok sehingga dia mengusulkan demokrasi terpimpin. Masa demokrasi terpimpin adalah cara Soekarno menciptakan stabilitas politik. Dalam fase itu presiden menjadi sentral kekuasaan, demokrasi liberal diganti dengan musyawarah mufakat dipimpin Presiden, peran partai politik dibatasi dan peran militer diperbesar.
Cara Soeharto menciptakan Stabilitas Politik
Kekuasaan Soeharto adalah antitesis dari kekuasaan Soekarno. Soeharto berhasil menciptakan stabilitas politik walau harus ditebus dengan membangun kekuasaan otoriter. Soeharto banyak belajar dari sikap politik Soekarno yang menyadari bahwa demokrasi liberal yang membuka banyak ruang pada banyak orang dan kelompok berarti membiarkan kekacauan terjadi. 1973 Soeharto menyederhanakan partai politik atau fusi partai politik menjadi tiga partai politik.
PPP adalah partai yang mewadahi ideologi Islam, PDI adalah partai yang mewadahi kelompok nasionalis-sekuler dan Golkar partai baru yang dibentuk Soeharto. Langkah ini strategis untuk melakukan kontrol terhadap partai politik.
Kedua, Soeharto memberikan ruang yang besar pada militer secara politis dengan nama DWI Fungsi ABRI. Militer diberikan ruang untuk menempati jabatan jabatan politis dan strategis dalam pemerintahan. Di DPR ABRI bisa menempati kursi tanpa harus ikut Pemilu, fraksi ABRI adalah representasi dari Dwi Fungsi ABRI yang tujuannya adalah untuk mempersempit kekuatan partai politik dan untuk mengawasi DPR. Soeharto menciptakan ketakutan dengan kekuatan militer dia menutup ruang terbuka dan kritik. Siapa saja yang mengkritik akan dicap anti Pancasila dan tentu akan dihadapi dengan represif oleh tentara.
Kekuasaan Soeharto tidak lepas dari aksi demonstrasi. 1974 terjadi demonstrasi besar yang digerakkan oleh kelompok mahasiswa dikenal dengan peristiwa Malari. Demonstrasi ini mengangkat isu anti modal asing yang dianggap terlalu mengatur ekonomi Indonesia, korupsi, kolusi antara pejabat dan pengusaha. Aksi tersebut direspons dengan tegas dan represif oleh tentara. Peristiwa Malari semakin menegaskan militeristik-nya kekuasaan orde baru, semakin represif langkah politik Soeharto demi menciptakan ke-stabilan politik.
Reformasi, Kembalinya Kebebasan dan Anarkisme
Tumbangnya Soeharto oleh Gerakan mahasiswa 1998 memberikan angin segar pada perubahan. Euphoria demokratisasi memberikan jalan mulus bagi kebijakan-kebijakan pro-demokrasi. Otonomi daerah, Kembali pada sistem multi partai, kebebasan pers, kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, unjuk rasa, demonstrasi. Secara kelembagaan dibuat Lembaga Lembaga independen yang menjamin demokrasi, penegakan hukum dan hak azasi manusia. Intinya Indonesia Kembali pada demokrasi liberal.
Di satu sisi kita perlu menikmati situasi demokratis yang terbuka, bebas berpendapat bahkan memberikan kritik tidak akan direpresi oleh aparat, tetapi sayangnya di satu sisi kita juga dihadapkan pada pemerintahan yang selalu menciptakan kemarahan rakyat dan kita berada pada situasi anarkisme sebagai akibat dibukanya ruang kebebasan publik. Sejak reformasi berapa kali kita dihadapkan pada aksi demonstrasi dan disusul pada situasi chaos dan anarkis.
Demokrasi khususnya yang terjadi pasca reformasi harus kita apresiasi sebagai situasi yang inklusif bagi hak hak sipil dalam berpolitik, tetapi kita juga harus melihat demokrasi sebagai sistem yang rentan menciptakan ke-stabilan politik. Kita bisa merenungkan tentang sikap politik Soekarno yang membubarkan parlemen dan menciptakan demokrasi terpimpin, kita harus merenungkan kenapa Soeharto menyederhanakan jumlah partai politik.
Kita perlu belajar dari pendahulu kita dalam menciptakan ke-stabilan politik tanpa harus menggunakan militer dan Tindakan represif aparat. Dan yang terpenting adalah sikap dan kebijakan pemerintahan tidak boleh lagi membuat rakyat gaduh dan Marah. (Rino Sundawa Putra SIP MSi)
Penulis merupakan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi