Digital Minimalism dan Tsunami Informasi

Sosial18 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Tiada hari tanpa menatap layar gawai yang penuh dengan informasi. Masyarakat modern melewati hari demi hari dengan beragam informasi dan pemberitaan dalam genggaman tangannya. Setiap informasi yang hadir selalu menyuguhkan daya tarik tersendiri hingga menuntut penggunanya untuk menatap layar lebih lama.

Sebuah laporan bertajuk State of Mobile 2024 oleh Data.Ai menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan 6 jam per hari untuk menatap layar (Data.Ai, 2024). Sejalan dengan itu, pengguna internet di Indonesia pun selalu mengalami peningkatan. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan pengguna internet di Indonesia tahun 2024 mencapai 221, 5 juta jiwa dari jumlah penduduk 278,6 juta jiwa (APJII, 2024).

Peningkatan pengguna internet di Indonesia, dibarengi dengan tingginya frekuensi mengakses internet, membuat masyarakat Indonesia dalam ancaman brainroot (pembusukan otak). Salah satu penyebabnya adalah kecanduan teknologi hingga banjirnya informasi sehingga menurunkan konsentrasi, rentan depresi, hingga kecemasan berlebihan.

Tsunami Informasi, Kelelahan Otak, hingga Penurunan Kualitas Hidup

Manusia modern yang hidup dalam bayang-bayang teknologi digital cenderung mengalami kelelahan otak lebih mendominasi. Kemudahan mengakses informasi membuat manusia memiliki banyak pilihan dan keputusan yang harus diambil.

Sebuah studi menunjukkan bahwa orang dewasa mampu mencerna dan memproses 30.000 hingga 35.000 pilihan setiap harinya. Semakin bertambah usia, semakin kompleks pilihan yang dihadapi. Banjir informasi kini mulai bergeser menjadi tsunami informasi yang semakin sulit dibendung. Banyaknya arus informasi yang masuk membuat seseorang mesti merespons sesegera mungkin informasi yang diterima.

Keadaan tersebut sejatinya telah menambah beban kerja otak yang sehari-hari sudah dihadapkan pada banyak pilihan dan pengambilan keputusan. Sehari-hari, otak akan mendapatkan banyak penentuan pilihan dari mulai makanan yang akan dimakan, hingga pakaian yang akan dikenakan. Dengan itu saja, otak sudah mengalami kelelahan, terlebih jika semakin banyak informasi yang masuk untuk diproses.

Ragam informasi yang diterima otak, juga tidak selamanya memberikan dampak positif bagi peningkatan kognitif seseorang. Informasi-informasi receh di media sosial bahkan cenderung membuat otak mengalami pembusukan. Oleh karenanya intensitas penggunaan teknologi yang tinggi memungkinkan informasi semakin deras diterima dan otak mengalami kelelahan.

Saat otak, melalui jaringan neuron, mengelola informasi yang sangat banyak akan menghasilkan asam glutamat. Fungsi asam glutamat adalah sebagai ‘kurir’ yang membantu mengirimkan sinyal-sinyal antarneuron di dalam otak. Semakin banyak asam glutamat yang diproduksi, memungkinkan terjadinya penyumbatan simpul-simpul neuron. Saat itulah, otak menjadi sulit mengambil Keputusan dan respons terhadap pilihan menjadi lambat.

Asam glutamat yang menumpuk dan menghambat jaringan neuron masih bisa diurai oleh zat adenosin. Zat tersebut merangsang rasa lelah yang dirasakan tubuh dan mengirimkan sinyal agar tubuh beristirahat. Zat adenosin ini kemudian akan memancing rasa kantuk, sehingga tubuh diusahakan segera tidur.

Selama tidur, zat adenosin akan berupaya untuk mengurai tumpukan asam glutamat sehingga otak dapat dibersihkan. Ketika sudah bersih, saat bangun tubuh menjadi lebih segar dan produktif. Masalahnya, manusia seringkali memaksakan diri menatap gawai dan mencerna informasi berlarut-larut hingga lupa istirahat. Durasi tidur yang tidak cukup tentu sama saja dengan membiarkan otak terus menerus dalam keadaan lelah.

Digital Minimalism: Sebuah Tawaran

Hidup di era digital memang sulit melepaskan diri dari derasnya informasi yang semakin mudah diperoleh. Bahkan informasi yang tidak dicari sekalipun muncul dengan sendirinya. Fenomena tsunami informasi, bukan hanya meningkatkan kecemasan dan stres, lebih jauh lagi akan terus menerus menggerus energi otak sehingga mudah lelah dan menjadi tidak produktif.

Cal Newport penulis buku Digital Minimalism: Mempertahankan Fokus di Tengah Dunia yang Gaduh mengenalkan konsep “Digital Minimalism”. Cal Newport memaknai digital minimalism sebagai sebuah landasan filosofis yang mempertanyakan nilai paling besar dalam hidup pengguna teknologi.

Landasan filosofis tersebut memberikan keyakinan secara sadar untuk membersihkan kebisingan digital yang bernilai rendah. Pengguna teknologi digital diarahkan hanya menggunakan tools atau alat, baik aplikasi atau fitur teknologi lainnya, yang benar-benar bernilai.

Buku tersebut mengajak pembacanya untuk lebih banyak berinteraksi di dunia nyata, daripada menghabiskan waktu hanya untuk scrolling tanpa tujuan spesifik yang jelas—jelas nilainya rendah bagi kehidupan. Teknologi digital sejatinya alat untuk mencapai tujuan spesifik dan bernilai besar dalam hidup, bukan malah sebaliknya.

Lantas, apa yang dapat dilakukan oleh para pengguna teknologi? Singkatnya, pengguna teknologi dapat memulai dengan meningkatkan motivasi untuk membersihkan diri dari kebisingan digital. Selanjutnya, Cal Newport menyarankan agar pengguna teknologi meluangkan waktu lebih banyak untuk menyendiri. Memberikan ruang sendiri untuk membebaskan pikiran dari hal-hal yang tidak penting dipikirkan.

Selanjutnya, digital minimalism mengarahkan pembaca untuk mengalihkan fokus pada hiburan yang atau hobi yang sesuai dengan minat dan potensi diri. Pada intinya, buku ini mendorong para pengguna teknologi digital untuk lebih banyak memanfaatkan waktu dengan hal sederhana namun produktif dan bernilai besar.

Tsunami informasi menjadi fenomena yang tidak dapat dihindari dewasa kini., Namun, manusia sebagai tuan teknologi sejatinya memberikan ruang bagi diri untuk lebih bertumbuh dengan hadirnya teknologi, bukan malah menurunkan kualitas hidup. (Muhamad Wafa Ridwanulloh)

Muhamad Wafa Ridwanulloh adalah Ketua Paguyuban Duta Baca Jawa Barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *