Mengintegrasikan Vokasi di Sekolah Umum: Inovasi atau Deviasi Penyelenggaraan Pendidikan?

Pendidikan80 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Sekolah Menengah Atas (SMA) selama ini dikenal sebagai institusi pendidikan yang berorientasi akademik dengan tujuan institusional untuk menyiapkan siswa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Namun, tuntutan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja membuka keran peluang bagi lulusan SMA untuk terjun ke dunia kerja.

Hal ini menjadi tantangan baru bagi dunia pendidikan di Indonesia, yaitu semakin tingginya kebutuhan akan lulusan yang tidak hanya unggul secara akademik tetapi juga memiliki keterampilan praktis yang relevan dengan dunia kerja.

Tantangan ini lah yang mendorong sejumlah SMA mulai menyelenggarakan program vokasi, yang sebelumnya lebih lekat dengan sekolah menengah kejuruan (SMK).

Kebijakan program vokasi ini tentu menimbulkan berbagai dinamika, baik dalam implementasi di lapangan maupun dalam diskursus pendidikan nasional. Dengan pendekatan teoritis pragmatisme, eksistensialisme, serta telaah terhadap kebijakan yang berlaku, mari kita bedah apakah penerapan program vokasi di sekolah umum merupakan bentuk inovasi atau justru penyimpangan atau deviasi dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

John Dewey sebagai salah satu tokoh yang berkontribusi besar dalam konsep aliran pragmatisme, menekankan bahwa pendidikan tidak boleh terpisah dari realitas sosial dan kebutuhan masyarakat. Pendidikan yang relevan dengan dunia nyata siswa dan diperoleh dengan pengalaman langsung memberikan dampak yang lebih bermakna bagi siswa. Upaya mengintegrasikan program vokasi di SMA merupakan salah satu penerapan makna pragmatisme dalam penyelenggaraan pendidikan dan pendekatan ini memberikan nilai tambah yang signifikan.

Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, salah satu penyebab tingginya pengangguran lulusan SMA adalah kurangnya keterampilan praktis yang dibutuhkan dunia kerja. Menambahkan elemen vokasi di SMA dapat menjadi solusi praktis untuk masalah ini. Dengan memberikan pelatihan keterampilan seperti teknologi informasi, digital marketing, desain grafis, atau kewirausahaan, SMA mampu mencetak lulusan yang lebih siap untuk bersaing di dunia kerja, bahkan jika mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Namun, pragmatisme juga mengingatkan kita bahwa relevansi saja tidak cukup; kualitas juga menjadi faktor penting. Tantangan terbesar dari pendekatan ini adalah memastikan bahwa program vokasi yang diintegrasikan di SMA memiliki standar yang sama baiknya dengan pelatihan vokasi di SMK.

Ketersediaan fasilitas, kualitas kurikulum, dan kompetensi tenaga pendidik harus menjadi prioritas utama. Jika tidak, program ini berpotensi menjadi sekadar formalitas tanpa menghasilkan lulusan yang kompeten. Lebih parahnya, program vokasi ini hanya akan menjadi tambahan beban kognitif bagi siswa.

Dari sudut pandang eksistensialisme, pendidikan adalah sarana untuk memerdekakan individu. Jean-Paul Sartre menekankan bahwa manusia bertanggung jawab atas pilihannya sendiri, termasuk dalam menentukan masa depan sebagai proses pencarian makna hidupnya. Sehingga apabila merujuk pada teori eksistensialisme, pengintegrasian vokasi di SMA memberikan siswa kesempatan untuk memilih jalur pendidikan yang sesuai dengan minat dan potensinya.

Namun, pilihan ini harus benar-benar bersifat inklusif dan tidak diskriminatif. Sering kali, siswa dari keluarga kurang mampu cenderung diarahkan pada jalur vokasi karena dianggap lebih murah atau lebih cepat menghasilkan pendapatan. Di sisi lain, siswa yang dianggap memiliki kemampuan akademik lebih unggul akan diarahkan untuk tetap mengikuti jalur akademik tradisional. Hal ini berisiko menimbulkan stratifikasi sosial di dalam institusi pendidikan itu sendiri.
Untuk mengatasi ini, pemerintah dan sekolah harus memastikan bahwa program vokasi tidak menjadi stigmatisasi, melainkan benar-benar memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan potensi mereka secara bebas. Fleksibilitas dalam kurikulum, seperti yang diusung dalam kebijakan Merdeka Belajar, dapat menjadi salah satu solusi. Dalam kerangka ini, siswa dapat mencoba berbagai bidang vokasi sambil tetap mengejar prestasi akademik, sehingga jalur vokasi menjadi pelengkap, bukan pengganti pendidikan akademik.
Penyelenggaraan vokasi di SMA memang memiliki pijakan legal dalam sistem pendidikan Indonesia, namun masih ada banyak celah yang perlu diperhatikan. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional membagi pendidikan menengah menjadi dua jalur utama yakni pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Hal ini secara tidak langsung menempatkan SMA di jalur pendidikan umum, sementara SMK berada di jalur pendidikan kejuruan. Namun demikian derap langkah cikal bakal penerapan program vokasi sudah dimulai dengan masuknya mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan (PKWU) di Kurikulum 2013. Walaupun sejatinya, mata pelajaran PKWU bukan merupakan mata pelajaran baru di Kurikulum 2013.

Pada Kurikulum sebelumnya, yakni Kurikulum 2006 nama mata pelajaran ini adalah Keterampilan. Secara garis besar prinsip antara mata pelajaran Keterampilan dan Prakarya adalah sama, perbedaannya, pada prakarya mempunyai tujuan dan dasar pijak ‘kependidikan’ agar menumbuhkan kepekaan terhadap produk kearifan lokal, perkembangan teknologi dan terbangunnya jiwa kewirausahaan sesuai dengan orientasi dan misi kurikulum 2013.

Orientasi Kurikulum 2013 yang tertuang pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 yakni menjadikan peserta didik sebagai insan dan warga negara menguasai pengetahuan, mampu mempraktekan pengetahuan didapat, memiliki ketrampilan, serta memiliki sikap religius dan etika sosial sehingga memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa.

Secara nyata mempertegas tujuan utama penyelenggaraan pendidikan tidak hanya tentang penguasaan kemampuan akademis namun juga pengembangan keterampilan tidak peduli apakah itu sekolah umum ataupun sekolah kejuruan.

Terlebih, kebijakan Kurikulum Merdeka dengan Merdeka Belajarnya memberikan peluang bagi sekolah untuk merancang kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan lokal dan siswa. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum Merdeka, sekolah diberikan keleluasaan untuk mengimplementasikan program yang lebih relevan dengan kebutuhan siswa. Dalam konteks ini, vokasi di SMA dapat dianggap sebagai inovasi yang sesuai dengan semangat kebijakan tersebut.

Meski demikian, ada tantangan besar dalam hal pengawasan dan evaluasi. Bagaimana memastikan bahwa program vokasi di SMA memiliki standar yang sebanding dengan SMK? Bagaimana pengaturan sertifikasi keahlian bagi lulusan SMA yang menerapkan program vokasi? Apakah lulusan SMA yang memiliki keterampilan vokasi akan memiliki pengakuan formal yang setara dengan lulusan SMK? Semua ini membutuhkan regulasi yang lebih rinci dan komprehensif.

Selain persoalan kebijakan, implementasi program vokasi di SMA menghadapi tantangan yang tidak ringan. Setidaknya ada empat tantangan implementasi program vokasi di SMA. Tantangan pertama adalah ketersediaan sumber daya. Banyak SMA yang belum memiliki fasilitas atau sumber daya baik manusia yaitu tenaga pendidikan maupun sarana prasarana pendukung program vokasi. Berbeda dengan SMK yang sudah dilengkapi dengan bengkel kerja, atau peralatan khusus serta tenaga pendidik yang yang lebih mendukung.

Tantangan kedua adalah persepsi masyarakat. Masih ada anggapan vokasi sebagai jalur pendidikan untuk siswa dengan kemampuan akademik rendah. Stigma ini perlu dihilangkan agar program vokasi di SMA tidak hanya dianggap sebagai “pilihan kedua”, tetapi benar-benar dipandang sebagai bagian dari pendidikan yang berkualitas.
Tantangan ketiga adalah kesesuaian dengan dunia kerja.

Program vokasi harus dirancang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja yang terus berkembang. Jangan sampai program vokasi yang dilaksanakan tidak peka dengan tuntutan zaman. Tantangan keempat adalah porsi pendidikan karakter. Perlu dipahami bersama, kualitas karakter seseorang menjadi poin penting dalam penilaian penerimaan pegawai.

Kemampuan akademis yang unggul, keterampilan teknis yang hebat namun tidak diimbangi dengan kemampuan berkolaborasi, komunikasi yang efektif, kedisiplinan, pantang menyerah dan karakter lain yang dibutuhkan dalam dunia kerja, tentu akan dapat menghambat efisiensi dalam melaksanakan tugas. Oleh karena itu penerapan program vokasi jangan sampai mengurangi porsi pendidikan pengembangan karakter.
Akhirnya, pertanyaan mendasar tentang penerapan program vokasi di sekolah umum tetap ada, yakni apakah SMA dengan program vokasi ini akan menjadi jembatan yang efektif antara pendidikan dan dunia kerja, atau justru menciptakan dilema baru dalam sistem pendidikan kita? Jawabannya ada di tangan kita semua. Apa pun hasilnya, yang pasti, pendidikan harus tetap menjadi alat untuk memerdekakan, memajukan, dan memuliakan manusia. (Anti Wijayanti SPd MPd)

Penulis merupakan Mahasiswa S3 Pendidikan Unsil Tasikmalaya, guru Matematika SMA Negeri 2 Ciamis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *