Musim Gugur Demokrasi

Politik44 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Negara berdemokrasi seperti Indonesia sudah sangat lekat dengan yang namanya partisipasi politik. Dalam negara demokrasi, partisipasi politik merupakan suatu indikator penerapan penyelenggaraan kekuasaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat) yang kemudian dimanifestasikan dalam gelaran demokrasi, H Soebagio (2008). Maka ketika partisipasi politik meningkat, itu merupakan tanda bahwa rakyat memahami serta memberikan sumbangsih dalam kegiatan ketatanegaraan. Tetapi sebaliknya jika kontribusi politik menurun, ada dua hal setidaknya yang paling utama untuk dibahas, yakni: Pertama, apakah kinerja partai politik untuk menarik partisipasi politik kurang? Kedua, apakah masyarakat kecewa terhadap kinerja pemerintahan, atau tidak adanya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik? Tidak ada yang tahu jawabannya, sekalipun orang tahu, pasti membisu dan berpura-pura dalam ketidaktahuan.

Menurut Budiardjo (1996:183) partisipasi politik ini adalah suatu kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan dilakukan secara langsung atau tidak langsung, yang kemudian dapat mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Kegiatan ini mencakup tindakan memberikan suara, menjadi penyelenggara pemungutan suara atau badan adhoc maupun kelompok kepentingan tertentu. Partisipasi politik ini dibagi menjadi dua, yakni: Pertama, adalah partisipasi politik demokratis yang otonom, yakni tanpa adanya unsur-unsur politik praktis di dalamnya, jadi sukarela memberikan suaranya untuk memilih pilihannya. Kedua, partisipasi politik dimanipulasi, dimana para partisipan akan diarahkan dan biasanya diberikan dukungan adalah suatu bentuk demokrasi yang dikendalikan, biasanya partisipasi politik ini menjual suaranya untuk memilih, jika tidak dibeli bisa saja tidak turut berpartisipasi dalam politik.

Banyaknya elemen partisipasi politik yang terbiasa dimobilisasikan sehingga implikasinya adalah pembentukan masyarakat yang senantiasa berharap akan ada yang membeli suaranya di setiap kali pemilihan umum akan diselenggarakan. Hal inilah kemudian yang menjadikan demokrasi di Indonesia tidak utuh. Seringkali di setiap momen pemilihan umum diselenggarakan, partisipasi politik banyak yang memilih untuk menjadi golongan putih (golput) di setiap tempat pemungutan suaranya, entah apa kiranya yang menjadi persoalan, yang jelas perlu diadakannya demokratisasi di pemilihan umum berikutnya.

Berdasarkan data yang di unggah oleh @kpuprovinsijabar, Kota Tasikmalaya mencapai 76,91% dalam partisipasi politik Pilkada 2024, sedangkan dalam pemilu sebelumnya 2019, mencapai 87,49% partisipasi politik, artinya Kota Tasikmalaya ini mengalami penurunan dalam partisipasi politik. Sehingga beberapa praduga dimunculkan atas permasalahan ini, masyarakat Tasikmalaya menganggap bahwa dengan adanya pemilu dan pilkada ini belum bisa menghasilkan perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga banyak dari masyarakat yang memilih untuk tidak menyumbangkan suaranya karena mereka tidak akan mendapatkan timbal balik apapun dari tindakannya, mereka yakin siapapun yang terpilih maka akan lupa kepada yang memilih. Kemudian faktor kinerja partai politik pun harus dipertanyakan, karena bagaimanapun partai politik ini adalah mesin pembangkit partisipasi politik, apalagi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berorientasi pada prinsip komersial, jadi akan terus menunggu kedatangan kelompok berkepentingan untuk hadir membeli suaranya, maka apabila hal itu tidak terjadi mereka tidak akan menggunakan hak pilihnya. Selain daripada itu juga value maupun nilai dari tokoh-tokoh politik pun turut disoroti, banyaknya aktor koruptor di kursi pemerintahan membuat masyarakat kita semakin tidak percaya akan siapapun itu yang menjadi pemimpinnya, padahal tidak semua calon pemimpin dan yang sedang memimpin seperti itu, tetapi sangat disayangkan koruptor yang tiada hentinya berhasil menanam pandangan ketidakpercayaan segelintir masyarakat terhadap para pemimpin-pemimpinnya, hal inilah yang sama kemudian menjadi faktor lain yang dapat mengurangi partisipasi politik. Kemudian hal lain yang turut menjadi faktor pemicu merosotnya partisipasi politik di Tasikmalaya adalah dengan tidak terealisasikannya janji-janji para elit politik yang dibangga-banggakan kepada masyarakat Tasikmalaya ketika berkampanye, sehingga lagi-lagi masyarakat Tasik ini dibuat untuk terus semakin tidak percaya pada aktor-aktor politik yang akan datang, karena cara mereka berpolitik pun tidak ada bedanya, sehingga masyarakat sudah tidak aneh lagi ketika memasuki masa-masa pelaksanaan pemilihan umum mereka akan turut memanfaatkan kondisi yang ada, baik meminta sesuatu kepada caleg maupun mencari pencairan dana dimana-mana, karena masyarakat pun sadar akan posisi mereka yang selalu dibuang ketika sepahnya sudah tidak manis lagi, dan hal inilah kiranya yang turut menjadi faktor dari turunnya partisipasi masyarakat dalam berpolitik. Terakhir tak kalah penting masyarakat penganut golongan putih (golput) pun turut menjadi faktor pemicu merosotnya partisipasi politik di kota Tasikmalaya. Golput ini merupakan kondisi pemilih memilih paslon lebih dari satu, sehingga suara dinyatakan tidak sah, surat suara yang tidak sah ini sebenarnya bisa diartikan sebagai salah satu bentuk partisipasi politik, namun partisipasi disini tidak dibenarkan, karena tidak menggunakan hak pilih dengan cara yang tepat, tetap saja pada ujungnya akan dikatakan tidak berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Lalu apa yang menjadi latar belakang terjadinya golput? Sama halnya dengan jawaban mereka yang tidak mau menyumbangkan suaranya karena beberapa faktor diatas yang telah dijabarkan, mereka cenderung tidak peduli dengan adanya penyelenggaraan pemilihan umum. Sehingga faktor-faktor inilah yang membuat partisipasi politik di kota Tasikmalaya menurun.

Menghadapi fenomena seperti ini, sudah seharusnya setiap elemen masyarakat, partai politik serta pemerintahan harus saling bahu membahu untuk menciptakan politik demokrasi yang bersih dan utuh, pemerintah harus mulai membenahi segala kekurangannya dan menciptakan citra baru guna memulihkan kepercayaan masyarakat, pemerintah harus mengadakan program terstruktur untuk melakukan penyuluhan kepada warga masyarakat agar bijak dalam memilih, sehingga masyarakat pun akan memiliki empati, terhadap pemilu berikutnya, pun begitu dengan partai politik yang harus berperan extra dalam mencetak masyarakat yang berintegritas dalam menyuarakan hak pilihnya, tuntun mereka ke dalam hati nurani untuk memilih dengan cara memberikan visi misi yang memukau, sehingga masyarakat memiliki pandangan ingin mendapatkan pemimpin terbaik, dengan cara-cara demikian segala pandangan yang kusam karena perlakuan demokrasi kemarin akan semakin bersih dengan perbaikan demokrasi sekarang, sehingga di kemudian hari demokrasi Indonesia akan dipenuhi dengan masyarakat yang menggunakan hati nurani untuk memilih dan mencetak para pemimpin yang berintegritas. (Cahya Saputra)

Cahya Saputra merupakan mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Siliwangi (Unsil).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *