Peran Guru di Era Disrupsi

Pendidikan53 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Setiap tanggal 25 November menjadi momentum bersejarah bagi Guru di Indonesia, karena momen baik untuk merefleksi diri mengenai peran dan tanggung jawab yang diemban selama mengabdi menjadi seorang guru. Tema yang diangkat pun setiap tahun berbeda-beda, dan berkembang dari sejak Kongres Guru Indonesia pada 24-25 November 1945 yang dilaksanakan di Sekolah Guru Puteri, Surakarta.

Sejarah panjang Guru Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda pada tahun 1912 silam, berdiri Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), sebuah organisasi yang mewadahi para guru dari berbagai kalangan, seperti guru desa, kepala sekolah, dan guru bantu. Namun, perbedaan status dan pangkat di antara anggotanya menyebabkan fragmentasi, memunculkan organisasi baru seperti Persatuan Guru Bantu (PGB) dan Perserikatan Guru Desa (PGD).

Tahun 1932 PGHB berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Mulai mencerminkan semangat nasionalisme yang kuat, meskipun mendapat tentangan dari Belanda yang keberatan dengan penggunaan kata “Indonesia.” Sampai pada penjajahan Jepang yang sempat membubarkan PGI dan membentuk cara lain untuk organisasi guru, Para Guru Indonesia di setiap wilayah tidak putus berjuang hingga akhirnya bersama-sama Tentara dan Rakyat menghantarkan Indonesia Merdeka tahun 10945.

Kongres Guru pada bulan November 1945 melahirkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai wadah perjuangan guru di Indonesia melalui tiga tujuan utama: 1. Mempertahankan Republik Indonesia 2. Meningkatkan mutu pendidikan; dan 3. Membela hak dan kesejahteraan guru.

Tujuan utama nomor satu tentu dilakukan saat sejarah hari guru dimulai jauh sebelum kemerdekaan sejak era kolonial Belanda hingga masa pendudukan Jepang. Pada masa itu, guru tidak hanya berperan sebagai pendidik tetapi juga sebagai pejuang yang berkontribusi dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa. Namun setelah Indonesia merdeka, tantangan mencapai tujuan meningkatkan mutu pendidikan; dan membela hak dan kesejahteraan guru, masih merupakan hal yang diperjuangkan sampai Indonesia merdeka selama 79 tahun. Tantangan pencapaian tujuan ditambah lagi dengan masuknya era revolusi industri 4.0 yang segala perubahan berlangsung secara cepat dan banyak ketidakpastian (disrupsi).

Begitu pentingnya kehadiran Guru dalam proses keberhasilan pembangunan, pemerintah pada tahun 1994 bertepatan dengan hari Guru, mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 yang menetapkan setiap tanggal 25 November sebagai Hari guru, sebuah momentum penting untuk menghormati perjuangan dan pengabdian para guru. yang tidak terpisahkan dari perjalanan panjang Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Era disrupsi, yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan transformasi digital yang pesat, telah membawa perubahan besar di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Teknologi seperti kecerdasan buatan atau Artifcial intelegent (AI), Internet of Things (IoT), dan platform pembelajaran daring menciptakan tantangan baru bagi para guru untuk tetap relevan dan efektif dalam proses pembelajaran. Guru tidak hanya dihadapkan pada perubahan kurikulum, tetapi juga dituntut untuk menguasai teknologi serta mampu membimbing siswa menghadapi dinamika masa depan. Teknologi, termasuk AI, memang memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas pendidikan. Namun, AI tidak dapat menggantikan sentuhan manusiawi yang diberikan oleh guru dalam membimbing, mendidik, dan menginspirasi siswa. Oleh karena itu, peran guru tetap sangat penting dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan sosial di era disrupsi.
peran-peran guru yang tetap relevan di era disrupsi karena kehadiran guru yang tidak dapat digantikan AI karena Guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan akademis, tetapi juga membimbing siswa dalam menginternalisasi nilai-nilai moral, etika, dan sikap. AI tidak memiliki kesadaran moral atau kemampuan untuk memahami konteks sosial dan budaya yang kompleks dalam membimbing siswa menjadi individu yang berkarakter. Guru memiliki kemampuan untuk membangun hubungan emosional dengan siswa, memberikan dorongan motivasi, dan menginspirasi mereka untuk meraih potensi terbaiknya. Guru mampu memahami setiap siswa yang memiliki kebutuhan, bakat, dan latar belakang yang unik.
Era disrupsi merujuk pada situasi di mana teknologi menggantikan atau merombak cara konvensional dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan. Dalam konteks ini, proses belajar-mengajar kini didukung oleh berbagai platform digital, seperti aplikasi pembelajaran daring, video konferensi, dan materi berbasis multimedia. Kondisi ini menuntut perubahan paradigma pendidikan yang sebelumnya berbasis kelas menjadi berbasis digital. Guru dapat mendorong siswa untuk berpikir kritis, mempertanyakan, dan menciptakan ide-ide baru yang orisinal, guru berperan sebagai pembimbing dalam membantu siswa mengembangkan kemampuan sosial, seperti kerja sama, empati, dan komunikasi.
Di era disrupsi, peran guru mengalami transformasi, di antaranya: 1.Fasilitator Pembelajaran: Guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa mengakses, memahami, dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber digital; 2. Pemandu dalam literasi Digital: Guru harus membimbing siswa untuk menggunakan teknologi secara bijak, kritis, dan etis; 3. Motivator dan Inspirator: Di tengah tantangan teknologi, guru tetap menjadi sumber motivasi yang memberikan nilai-nilai moral, etika, dan semangat belajar; 4. Pendorong Kreativitas: Guru harus mendorong siswa untuk berpikir kreatif dan inovatif dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia.

Tantangan yang dihadapi guru di era globalisasi: 1. Kesenjangan Teknologi: tidak semua guru memiliki akses dan kemampuan menggunakan teknologi canggih; 2. Adaptasi Kurikulum: kurikulum yang terlalu kaku sering kali sulit disesuaikan dengan kebutuhan era digital; 3. Kompetensi Teknologi: sebagian guru masih kurang terampil dalam menggunakan perangkat teknologi, oleh sebab itu perlu strategi baru yang dilakukan guru dalam menghadapi Era Disrupsi degan cara: 1. Pengembangan Kompetensi Teknologi: Guru harus aktif mengikuti pelatihan teknologi untuk meningkatkan keterampilan digitalnya; 2. Kolaborasi dengan siswa dan orang tua: Membangun ekosistem pembelajaran yang melibatkan siswa dan orang tua sebagai mitra; 3. Pemanfaatan Sumber Daya Digital: Memanfaatkan platform pembelajaran daring, aplikasi edukasi, dan materi digital untuk mendukung proses pembelajaran; 4. Menerapkan Pendekatan Personal: Memberikan perhatian khusus pada kebutuhan belajar individu siswa untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran.

Selain keempat hal di atas, tidak kalah pentingnya bagi seorang guru untuk memiliki kecerdasan sosial-emosional yang dibingkai oleh kecerdasan spiritual. Maraknya penganiayaan guru kepada murid atau sebaliknya murid yang melawan gurunya, merupakan fenomena yang sering kita saksikan di media masa dan media sosial lainnya. Jika seorang guru mampu memahami, mengelola, dan mengekspresikan emosi secara sehat serta membangun hubungan sosial yang positif dengan orang siswanya, demikian pula dengan siswanya, tidak akan terjadi guru menghukum murid yang berlebihan atau murid yang melakukan tindakan fisik kepada gurunya.

Guru yang memiliki kecerdasan sosial-emosional yang efektif akan mampu meningkatkan hubungan interpersonal dengan muridnya, mampu mengelola stres dengan baik walaupun menghadapi banyak masalah, dan akan menghasilkan kepemimpinan seorang guru yang efektif, lebih mampu memotivasi, menginspirasi, dan membangun tim yang harmonis, yang pada gilirannya akan membantu prestasi akademis siswa dan menunjang karier masa depan seorang guru.
Dalam pengembangan kepribadian, meskipun sering menganggap yang paling tahu dan mengenal diri sendiri, sebenarnya kita memiliki area buta yang tidak disadari. Bisa jadi kita terkaget-kaget mendengar bagaimana persepsi orang lain terhadap diri kita. Ada guru yang merasa diri sebagai seorang visioner, hands on, dan responsif. Ia tidak menyadari bahwa orang lain sulit berkembang di bawah kepemimpinannya karena dominasinya yang begitu kuat.
Robert Bruce Shaw dalam bukunya, Leadership Blindspots, menyebut titik buta (blind spot) sebagai kelemahan atau ancaman yang tidak kita sadari, tetapi bisa sangat merusak. “Kelemahan yang kita ketahui cenderung tidak akan menggagalkan kita dari tujuan, tetapi kelemahan yang tidak kita sadari justru bisa sangat berbahaya,” tulis Shaw.

Titik buta ini dapat memengaruhi kinerja tim, hubungan, bahkan kesuksesan organisasi. Salah satu contoh kelemahan yang menumbuhkan titik buta adalah arogansi yang merasa diri lebih baik dari yang lain. Dalam hidup sehari-hari, kita melihat banyak orang yang merasa kuat dalam kehidupan beragamanya sehingga sibuk menasihati orang lain yang menurutnya tidak menjalankan aturan-aturan keagamaan dengan baik. Gejala ini pun bisa kita sebut sebagai arogansi tersembunyi.

Sebagai guru, kita tidak boleh menganggap kitalah yang paling pintar, yang paling menguasai segala hal, sementara orang kain atau murid harus selalu patuh kepada kita, sementara tidak kita sadari banyak kekurangan yang tidak kita sadari. Douglas Stone dan Sheila Heen, dalam bukunya, Thanks for the Feedback, menggambarkan titik buta (Blind Spot) sebagai kesenjangan antara diri yang kita pikir kita tampilkan dan cara orang lain melihat kita. Pemahaman ini menunjukkan bahwa persepsi kita tentang diri sendiri sering kali berbeda dengan bagaimana orang lain melihat perilaku, sikap, sampai kepada nada suara kita sehari-hari. Sering kali, titik buta muncul karena hal-hal yang dianggap biasa oleh kita, tetapi sebenarnya menghasilkan dampak yang mengganggu bagi orang lain.
Peran guru di era disrupsi tidak hanya terbatas pada transfer ilmu, tetapi juga sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing literasi digital. Meskipun menghadapi tantangan besar seperti kesenjangan teknologi dan adaptasi kurikulum, guru tetap dapat memainkan peran penting dengan mengembangkan kompetensi dan memanfaatkan teknologi secara optimal. Guru diharapkan terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan teknologi. Pemerintah dan institusi pendidikan juga perlu memberikan dukungan berupa pelatihan teknologi dan akses sumber daya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di era disrupsi. Tetap Semangat, Jangan Bosan Jadi Guru. (Gumilar Mulya)

Penulis merupakan Dosen Penjas FKIP Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *