RADAR TASIKMALAYA – HAI semua, apakah kalian mengetahui sosok Raden Mas Suwardi Suryanigrat? Ya betul, beliau merupakan bapak pendidikan Indonesia yang lahir pada 2 Mei 1889. Setelah itu tanggal 2 Mei diresmikan sebagai “Hari Pendidikan Nasional” oleh pemerintah sejak tanggal 16 Desember 1959 dengan dikeluarkannya Kepres RI No: 316 tahun 1959 (Ki Hadjar Dewantara, 1962: 137).
Akan tetapi pada tulisan kali ini kita tidak hendak mengulas tentang siapa sosok Ki Hadjar Dewantara melainkan hendak membahas tentang perjalanan serta pemikiran R M Suwardi Suryanigrat dalam dunia pendidikan.
Pada dasarnya rekan-rekan semuanya pasti sudah sangat mengenal siapa sosok RM Suwardi Suryaningrat ini. Namun tahukah kalian bagaimana perjalanan beliau dalam mengembangkan pemikiran pendidikan Indonesia yang pada saat itu masih ada di bawah penjajahan Belanda.
Pada awalnya Ki Hajar Dewantara menempuh pendidikan dalam lingkungan Istana Paku Alam, namun selain pendidikan yang diberikan pada lingkungan keluarga beliau juga mendapatkan pengajaran formal dan nonformal, yang mana beliau pun diberikan pengajaran agama di pondok pesantren Kalasan di bawah asuhan KH. Abdurahman (Rahardjo, 2009: 9).
Kemudian pendidikan formal yang ditempuhnya adalah sekolah Dasar Belanda III (Europeesche Legre School) atau ELS, selanjutnya pendidikan beliau dilanjutkan di sekolah Guru (Kweek School) Yogyakarta, namun sangat disayangkan karena pendidikannya di sekolah guru tidak sampai tamat. Kemudian di tahun 1905 Ki Hajar Dewantara mendapatkan kesempatan dan besiswa untuk meneruskan pendidikannya di sekolah Dokter Jawa atau dikenal dengan STOVIA (School tot Opleiding va Indische Artsen) yang berada di Jakarta (Gunawan, 1992).
Kepribadian Suwardi terbentuk dari lingkungan Istana Paku Alam, kehidupan dengan tradisi dan peraturan hidup kebangsawananlah yang kemudian membentuk pengalaman rohani dan jasmani beliau yang sangat berpengaruh besar (Suratman, 1990: 3).
Pengaruh hidup yang diberikan oleh keluarga yang dialami secara terus menerus oleh anak dari usia balita hingga dewasa, maka budi pekertinya akan terbentuk oleh dasar pembawaannya yang dipengaruhi oleh pengalaman sang anak pada periode “gevoelige periode” yaitu pada waktu berumur 7 tahun (Dewantara, 1943).
Selain dari pada pendidikan yang diberikan dilingkungan Istana, Suwardi pun turut menuntut ilmu agama dengan di masukannya ia ke dalam pendidikan pesantren Kalasan yang berada di bawah asuhan KH Abdurahman. Keistimewaan sosok Suwardi kecil sudah sangat terlihat yang kemudian membuat KH. Abdurahman memberikan nama julukan baginya yaitu: “Jemblung Trunogati” yang berarti anak mungil berperut buncit, tetapi mampu menghimpun pengetahuan yang begitu luas (Rahardjo, 2009).
Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan-tulisan Suwardi yang banyak berbentuk syair dan bersifat filosofi-religius yang sesuai dengan pandangan hidup pangeran Suryaningrat ialah Islam-Jawa (Suratman, 1990). Maka sangat lah jelas apa yang diungkapkan oleh Suratman (1990) bahwa lingkungan keluarga dapat memberikan pengajaran dan pendidikan yang mendalam bagi tumbuh kembangnya pemikiran pendidikan seorang anak.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara Dan Relevansinya dengan Pendidikan Hari Ini. Menurut Suryaningrat pembelajaran merupakan suatu tuntutan dalam suatu kehidupan tumbuh anak- anak, hingga jelas jika pembelajaran ialah tuntutan kodrat yang terdapat pada diri anak- anak supaya mereka sebagai seorang manusia serta selaku anggota warga yang bisa menggapai keselamatan serta kebahagiaan yang setinggi- tingginya (Ki Hadjar Dewantara, 2009: 15).
Pembelajaran sebagai suatu tuntutan bukan hanya menjadikan seorang guna memperoleh suatu kecerdasan yang besar tetapi pula menjauhkan dirinya dari sesuatu perbuatan jahat (Rahardjo, 2009: 70).
Pengartian manusia yang merdeka dalam konsep pembelajaran yang dibangun oleh Ki Hajar Dewantara merupakan, merdeka fisiknya, mentalnya, dan kerohaniannya. Kemerdekaan yang terbentuk pada individu senantiasa dibatasi dalam kedamaian hidup bersama, yang pada kesimpulannya hendak menunjang sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab, serta disiplin (Mujito, 2014: 70).
Oleh sebab itu yang dikatakan selaku manusia yang merdeka merupakan orang-orang yang bisa tumbuh secara utuh dan selaras dari seluruh aspek kemanusiaan yang bisa menghargai serta menghormati kemanusiaan tiap orang.
Lalu bagaimana dengan relevansi pendidikan hari ini? Apak ini semua sudah bisa dikatakan selaras atau sejalan dengan harapan Ki Hajar Dewantara dalam membangun pendidikan di Indonesia. Kurikulum merdeka merupakan suatu pendekatan yang memberikan kemerdekaan atau kebebasan bagi peserta didik, pendidik dan sekolah diberikan kebebasan untuk memilih pembelajaran yang sesuai.
Selain dari pada itu kurikulum ini pun ditunjukkan untuk dapat mengasah minat dan bakat anak sejak dini agar berfokus pada materi esensial, pengembangan karakter dan kompetensi dari peserta didik.
Bila kita lihat korelasi dari kurikulum merdeka ini sudah sejalan dengan karakter pendidikan yang diharapkan oleh Ki Hajar Dewantara karena mampu memberikan kemerdekaan bagi individu manusia untuk dapat memilih dan menentukan jalan pilihannya sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Relevansi Konsep Pendidikan Perguruan Taman Siswa dan Kurikulum Merdeka. Dalam perjuangannya bangsa ini harus tetap mewarisi pemikiran dari Ki Hajar Dewantara, karena dalam prosesnya pendidikan memiliki tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara menyeluruh tanpa ada yang membeda-bedakan suku, agama, ras dan budaya serta status sosial seseorang karena pendidikan yang diwariskan oleh Suwardi Suryaningrat ini adalah mengedepankan nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Alasan utamanya memilih nilai-nilai yang memerdekakan pendidikan juga karena menurutnya gaya pendidikan Barat tidak tepat dan sangat tidak cocok untuk ditanamkan dalam kultur pendidikan bangsa Indonesia. Pendidikan Barat bersifat regening, tucht, and orde yang artinya (Perintah, Hukum, dan Ketertiban) dijadikan sebagai karakter pendidikannya.
Pada dasarnya karakter seperti ini hanya akan memperkosa kehidupan batin dari anak-anak, yang pada akhirnya berakibat rusaknya budi pekerti dari peserta didik karena terus menerus mengalami paksaan dan tekanan. Oleh karenanya Ki Hajar Dewantara tidak ingin hal ini dijadikan karakter pendidikan bangsa Indonesia karena tidak dapat membentuk seseorang hingga memiliki “kepribadian” (Dewantara 1962: 14-15).
Menurut Ki Hajar Dewantara merupakan energi upaya buat bisa meningkatkan budi pekerti( kekuatan batin, kepribadian pikiran (intelektualitas) serta badan anak dalam rangka kesempurnaan hidup serta keselarasan dengan dunianya (Dewantara 1962: 14- 15). Apabila kita memperhitungkan poin ini serta kita hubungkan dengan korelasi dari Kurikulum Merdeka hari ini memang sudah mencapai titik temu guna benar-benar bisa memanusiakan manusia dalam proses pendidikannya.
Sebab dalam kurikulum merdeka manusia yang berbudi pekerti ini bisa tercapai jikalau pembelajaran bisa ditunjukkan untuk tingkat citra manusia di Indonesia guna mempunyai pendirian yang teguh serta bertanggung jawab dengan memegang teguh nilai-nilai kebenaran.
Setelah itu yang kedua manusia yang maju pikirannya merupakan manusia yang berani berpikir tentang realitas yang membelenggu kebabasnya serta berani beroposisi pada seluruh wujud pembodohan. Lagi yang ketiga merupakan kemajuan ataupun pertumbuhan pada raga partisipan didik yang bukan cuma tentang sehat secara jasmani namun pula mempunyai pengetahuan yang benar tentang guna badannya serta menguasai fungsi- fungsi itu buat memerdekakan dirinya dari seluruh wujud dorongan ke arah tindak kejahatan.
Konteks penalaran yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara sendiri adalah bentuk daya dan upaya untuk memanusiakan manusia sesuai dengan kodratnya untuk mendapatkan kemerdekaan secara lahir dan batin.
Oleh karenanya pengajaran dinilai dapat memerdekakan aspek badaniah manusia serara lahiriyah. Sedangkan pada tataran informatif pengajaran adalah aktivitas otonomi intelektual yang disengaja dan berdampak terhadap mencerdaskan kognisi seseorang agar terbebas dari kebodohan.
Maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum hari ini sudah sangat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Ki Hajar Dewantara namun dalam perealisasian kurikulum ini masih menjadi pekerjaan rumah (PR) kita semua sebagai calon pendidik untuk dapat benar-benar memerdekakan pendidikan agar manusia dapat terhindar dari kebodohan dan selamat jiwa dan raganya untuk menjalani kehidupan yang lebih keras. (Oellien Noeha)
Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi