RADAR TASIKMALAYA – 28 Oktober 1928 merupakan tonggak sejarah penting pada era pergerakan nasional, bahkan sebagai pemanasan menuju prokmlamasi 17 Agustus 1945. Pada 20 tahun sebelumnya yakni 20 Mei 1908 disebut sebagai kebangkitan nasional, tak cukup disitu para pemuda di Indonesia yang sekolah di Hindia Belanda maupun luar negeri, terus berjuang dengan membentuk organisasi pergerakan nasional, pada awalnya memang bersifat lokal atau kedaerahan, bahkan masih sempit karena dasar ideologi golongan atau daerahnya, namun 1928 mereka sadar akhirnya lahirlah persatuan Indonesi.
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa Sumpah Pemuda merupakan lahirnya bangsa Indonesia, sementara 17 Agustus 1945 merupakan lahirnya negara Indonesia. Artinya, tidak ada negara merdeka tanpa ada suatu bangsa yang sadar untuk bersatu, tidak ada bangsa kita hari ini tanpa ada Sumpah Pemuda dan Proklamasi.
Perlu diingat bahwa kedua peristiwa tersebut, melibatkan kelompok yang disebut generasi muda, walau proklamasi ditandatangani oleh Soerkarno Hatta, namun sehari sebelumnya kedua tokoh bangsa tersebut diculik oleh golongan mudah untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Pasca kemerdekaan, generasi muda masih memiliki peranan besar walau lebih populer dengan istilah Gerakan mahasiswa. Pada 1966 generasi ini memiliki andil besar dalam mengkritik keras pemerintahan Orde Lama Bung Karno. Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yang diabaikan oleh Presiden Seokarno, pada akhirnya mengubah era yang disebut dengan Orde Baru. Rezim otoriter Seoharto selama 32 tahun pun berhasil ditumbangkan oleh gerakan reformasi yang kembali diperankan oleh generasi muda melalui gerakan mahasiswa 1998.
Selama kurang lebih 27 tahun perjalanan reformasi di bawah kendali 8 presiden dari Habibie, Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jokowi, dan Prabowo. Riak-riak gerakan mahasiswa masih terasa, terutama dalam menyikapi kebijakan kurang popular dari pemerintahan. Pada era SBY misalnya, berhasil menghentikan kenaikan harga BBM. Namun, dalam beberapa tahun terakhir peran generasi muda maupun gerakan mahasiswa terkendala rezim yang cukup refresif.
Pada 2 periode pemerintahan Joko Widodo yang bersamaan dengan era media sosial menjadi budaya politik baru. Medsos sangat efektif dalam membungin citra positif penguasa, kontra narasi dengan oposisi atau dengan suara hati masyarakat.
Peran buzzer dan influencer menjadi hambatan tersendiri dalam menyalurkan aspirasi disaat negara ini butuh sebuah perbaikan menyeluruh akibat system kekuasaan yang dikelola secara serampangan.
Alhasil, negara hari ini memiliki banyak masalah akibat warisan presiden Jokowi, hutang luar negeri yang mengggunung, pembangunan IKN yang mangkrak, serta projek kereta api cepat Bandung-Jakarta yang merugi. Tak sedikit pula dengan nasib BUMN yang lain. Pembangunan infrastruktur tanpa pertimbangan keuangan negara yang matang. Kondisi ini seakan mendekatkan pada kondisi menuju kehancuran.
Padahal, ada beberapa momentum yang seharusnya generasi muda berperan dalam menggagalkan undang-undang maupun keputusan brutal pemerintahan. Beberapa hal tersebut diantaranya: revisis UU NO 19 tahun 2019 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU No 11 tahu 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), UU no 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), putusan MK terkait lolosnya Gibran jadi calon wakil presiden.
Kebijakan tersebut merupakan deretan kondisi yang membuat masalah negara semakin besar. Etika dan moral politik perlahan hilang, demokrasi diacak-acak, nyaris semua amanat reformasi tenggelam, seakan hanya catatan sejarah akan perubahan menuju kaadaban namun malah kebiadaban.
Bagaimana tidak, KPK yang pada awalnya sebagai lembaga independen, menjadi alat politik. Omnibus Law malam mempermudah investasi asing, seperti Kerata Cepat Whoosh yang merupakan jabakan hutang dari China. Mahkamah Kontistusi yang seharusnya menjadi lembaga pengawal konstitus malah memberikan jalan bagi kepentingan keluarga tertentu
Hukum, politik demokrasi dan ekonomi belum sesuai harapan.
Walau ada beberapa pihak menilai Prabowo masih memberikan harapan terutama pasca Reshuffle cabinet, terutama bergantinya menteri keuangan.
Revolusi Setengah Hati dan Mandulnya Gerakan Mahasiswa
Peristiwa akhir Agustus kemarin yang hampir memicu gelombang besar, namun gagal dalam mengubah suatu keadaan. Aksi besar penolakan kenaiakan tunjangan DPR yang diwarnai dengan meninggalnya pengemudi ojeg online. Menjadi pemantik, riakan seolah akan terjadi perubahan sebagaimana yang terjadi pada Mei 1998.
Namun, itu tidak terjadi. Aksi kurusan dan penjarahan memang ada. Bahkan penembakan misterius, termasuk korban lain selain Afan Kurniawan pun ada. Namun, Indikasi adanya penumpang gelap ada kejadian kamarin, menjadi pertimbangan kenapa Gerakan mahasiswa Nampak tidak garang padahal kondisi hampir menemukan memontum untuk terjadi perubahan.
Sepekulasi pun muncul, bahkan aksi kerusuhan dan penjarahan terjadi kerena didanai oleh mafia migas Riza Halid. Orang tersebut pun disinyalir menjadi bagain dari kekuatan Jokowi karena tidak tersentuh pada era Jokowi. Sehingga ada indikasi, menggulingkan Prabowo dan menaikan Gibran. Namun, upaya yang menghendaki seperti ini pun masih tarik ulur dan kembali tiarap sementara sambil menunggu waktu yang tepat.
Pada peringatan Sumpah Pemuda tahun ini, yang hampir berbarengan dengan 1 tahun Prabowo-Gibran, generasi muda jangan sampai kehilangan arah dalam mengawal pemerintahan sekarang. Peran Gibran ternyata masih jauh dari harapan, bahkan jarang dilibatkan oleh presiden dalam pengambilan keputusan penting negara. Wapres Gibran pun tidak mereprentasikan kalangan muda, walau oleh para pendukung selalu digadang-gadangkan. Nyaris, tidak pernah mendatangi kampus untuk mendiskusikan urusan dan peran genarasi muda apalagi punya mimpi besar menuju Indonesia Emas 2045.
Generasi muda sekarang dalam hal ini mahasiswa, merupakan Generasi Z yang memiliki karakater tersendiri dibandingkan dengan generasi sebelumnya, berharap jangan sampai idealismenya luntur. Tetap sebagai agen perubahan dan penjaga moral bangsa, tidak diam atau terlelap dalam tidur, bangkitlah wahai anak muda, jangan sampai bangsa ini selalu jatuh pada lubang yang sama. (K Adi Saputra)
Penulis merupakan Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Siliwangi






