Apalagi selama Covid-19. Ketika banyak dokter spesialis ”takut” ke rumah sakit. Praktis dokter residen yang mau tidak mau menjadi ujung tombak.
Mereka tidak berani takut. Mereka ingin segera lulus menjadi spesialis.
Rumah sakit adalah bangku kuliah bagi para calon spesialis. Tidak perlu pergi ke universitas.
Sering dengan bangga mereka mengatakan ”jadi dokter residen itu lebih sibuk dari dokternya”. Mereka tidak seperti sedang kuliah. Mereka sudah seperti dokter tetap di rumah sakit.
Tapi, sebagai mahasiswa, mereka tetap harus membayar uang kuliah. Kalau ditotal, SPP-nya saja, bisa mencapai Rp 150 juta.
Maka inilah dokter yang tidak bisa cari uang karena kuliah, bekerja penuh sebagai dokter di rumah sakit, masih harus membayar pula.
Itu menjadi salah satu penyebab mengapa sulit mencetak spesialis. Akibatnya jumlah dokter spesialis sangat kurang.
Menkes tidak sependapat kalau persoalannya bukan jumlah melainkan penyebarannya. ”Saya siap berdebat dengan siapa pun soal ini. Asal debat ilmiah. Pakai data,” katanya. ”Penyebarannya memang kurang bagus. Tapi jumlahnya juga sangat kurang,” katanya.