Tanpa Musik, Manusia Layaknya Mahluk yang Dilahirkan Tanpa Indera Pendengaran (Tuli)

RADAR TASIKMALAYA – Musik adalah karya Sang Pencipta yang mewujud sebagai potensi, ia sama dengan entitas-entitas ciptaan lain yang hadir dalam kosmos kehidupan. Merupakan fitrah hewani manusia membutuhkan asupan nutrisi dari makanan dan minuman untuk kelangsungan kehidupan mereka.

Layaknya makanan yang masuk melalui mulut kemudian diolah oleh indera pengecap manusia. Layaknya oksigen yang masuk melalui indera penciuman manusia, layaknya warna-warni semesta yang direkam oleh indera penglihatan manusia, layaknya tekstur-tekstur alam yang dikenali melalui indera peraba manusia. Begitu pula dengan nada, irama, ketukan, bait-bait syair dan bunyi ke semuanya terintegrasi dalam sebuah idiom yang kita kenal dengan istilah musik.

Indera pendengaran manusia merupakan instrumen dari Sang Khalik untuk dipergunakan sebagaimana adanya dan seperti seharunya oleh manusia. Fitrah manusia membutuhkan musik sebab hal itu merupakan hak salah satu indera manusia untuk memperoleh asupan irama dan bait-bait syair indra pendengaran.

Sejak dentuman pertama penciptaan alam semesta (teori big bang) sekejap itulah tercipta bunyi dan ketukan. Penulis pun tidak mengetahui pasti apakah ketukannya ketukan seperempat atau ketukan seperdua. Yang jelas bahwa sebagaimana adanya manusia tidak mungkin bisa menolak fitrahnya sebagai makhluk yang memiliki ketergantungan dengan bunyi.

Entah bunyi itu berasal dari pita suara, kicauan burung, deburan ombak, tiupan angin, bisikan kalbu dan sumber-sumber bunyi lainnya di semesta. Ke semuanya adalah suatu entitas keniscayaan yang eksis di semesta kehidupan manusia.

Akan tetapi penulis tidak bermaksud untuk meliberalisasi musik ke semua konteks kehidupan manusia. Penulis sekedar bermaksud untuk memberikan sebuah sudut pandang lain terhadap dinamika kehidupan manusia terhadap musik.

Bahwasanya kita tidak perlu alergi berlebih-lebihan (lebay) dalam menanggapi musik. Seperti yang penulis katakan dari awal, musik adalah ciptaan yang hadir sebagai potensi. Musik adalah produk seni yang dikelola oleh manusia dari bahan dasar potensi-potensi bunyi, irama, ketukan dan nada yang diaktualisasikan menjadi sebuah karya terstruktur oleh manusia. Inilah yang kita kenal saat ini dengan beragam corak genre dari pop hingga rock, dari nasidahria hingga regge.

Lantas, muncul pertanyaan di benak kita. Apa itu seni? Menurut penulis, seni adalah ungkapan cinta setiap makhluk. Musik adalah seni itu sendiri sebagai media penyampai ungkapan-ungkapan cinta yang diaktualisasikan oleh manusia yang termanifestasi menjadi sebuah karya lagu, instrumental (tanpa lagu) atau musikalisasi puisi di mana musik menjadi bumbu penyedap rasanya.

Sampai di sini kita dapat memahami bersama bahwa musik bukanlah suatu hal yang menakutkan dan bahkan bukan suatu aroma busuk yang mesti dihindari oleh manusia. Dalam buku falsahtuna karya Muhammad Baqir Ash-Shadr, dikatakan bahwa dalam memandang dunia, ada dua kondisi yang perlu diketahui bersama.

Pertama adalah ‘tassawuri’ yaitu memandang sesuatu dengan tidak menghukuminya (bebas nilai) tidak berada pada posisi benar atau salah, baik atau buruk. Kedua adalah ‘tasdiqi’ yaitu memandang sesuatu dengan menghukuminya (menilai) benar atau salah, baik atau buruk. Mengapa penulis mengambil istilah ‘tassawuri’ dan ‘tasdiqi’? Sebab hal tersebut bisa kita analogikan dengan posisi musik yang bebas nilai. Musik bukanlah suatu hal yang benar atau salah, bukan suatu hal yang layak atau tidak layak.

Akan tetapi musik adalah sebuah instrumen yang bebas nilai. Baik atau buruk suatu musik bergantung kepada siapa yang menggunakannya. Layaknya pedang tajam, baik atau buruk bergantung sepenuhnya kepada sang pemilik pedang tersebut. Penulis terkadang merasa tergelitik oleh sebagian orang yang menganggap bahwa musik itu haram, musik itu syirik dan bid’ah.

Padahal senyatanya bahwa musik adalah suatu entitas yang bebas nilai terhadap hal-hal tersebut. Mari kita bahas satu persatu. Musik itu haram. Lantas di mana letak keharamannya? bagaimana kita bisa menghukumi sesuatu itu haram padahal sesuatu itu berada pada yang posisi bebas nilai, di mana sangat bergantung kepada siapa ia dipergunakan. Izinkan saya untuk ‘mentadabburi’ ayat yang berbunyi “qulu wasrobu wala tusrifu”.

Penulis ‘mentadabburi’nya dengan memberi makna bahwa “konsumsilah apa pun itu asal jangan berlebihan” atau “berilah apa yang tubuh butuhkan, bukan berilah apa yang tubuh inginkan”. Konsumsi dalam artian apa pun itu, yang masuk ke dalam lima instrumen indera manusia jika berlebihan maka bisa dinilai (dihukumi) haram. Suara yang berlebihan (kebisingan) bisa merusak raga (tuli) dan jiwa (stress) bagi manusia yang mendengarkannya.

Makanan dan minuman yang berlebihan bisa merusak raga (di antaranya obesitas dan diabetes) dan jiwa (di antaranya malas dan rakus) bagi manusia. Musik yang dilantunkan untuk menemani perasaan manusia yang sedang bahagia atau sedih sesuai takarannya justru baik untuk kesehatan jiwa manusia itu sendiri. Lantas di mana letak keharamannya?

Musik itu syirik. Lantas di mana letak kesyirikkannya? Bagaimana mungkin semua entitas ciptaan Sang Haliq selain manusia disimpulkan sebagai kesyirikan? Apakah bunyi itu syirik ? apakah nada itu syirik ? apakah ketukan dan irama itu syirik? tentu jawabannya adalah tidak sama sekali gaes.

Sama halnya dengan kita menjustifikasi bahwa pohon itu syirik, kambing itu syirik, ikan itu syirik, batu itu syirik dan lain sebagainya ciptaan Sang Haliq selain manusia adalah syirik? Dalam ayat-ayat qur’ani dikatakan berulang kali tentang perintah untuk selalu menggunakan ciptaan istimewa kita yaitu akal untuk berpikir. Jadi, satu-satunya makhluk ciptaan Sang Khaliq yang berpotensi melakukan kesyirikan adalah manusia.

Sebab letak kesyirikan itu bukan pada benda atau atau apa pun itu. Syirik sesungguhnya terletak pada pikiran (disfungsi akal) manusia itu sendiri. Murtada Mutharari dalam bukunya pengantar epistemologi mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia berasal dari makro dan mikro kosmos yang kemudian ditangkap oleh indrawi manusia, kemudian dikelola oleh akal. Konsumsi pengetahuan yang tidak dikelola dengan bijak oleh akal manusia dapat merusak dan mengeruhkan hati manusia yang sejak awal telah disetting oleh Sang Khaliq berposisi suci dan bersih. Sedikit tambahan, syirik adalah sikap manusia menduakan Tuhan atau menyandarkan segala harapan dan pertolongannya kepada selain Sang Haliq.

Musyik itu bid’ah? Di mana letak kebid’ahannya? Okey pada konteks tertentu dapat dipastikan bahwa musik itu bida’h. Baiknya agar penulis tidak liberal dalam berpendapat, perlu kita mendefinisikan bersama apa itu bid’ah. Bid’ah secara etimologi berasal dari akar kata bahasa arab yaitu “bada’a” yang berarti membuat sesuatu yang baru, memulai sesuatu yang belum ada sebelumnya, atau mengadakan sesuatu tanpa contoh.

Sudah tentu bahwa suara azan, suara lantunan ayat-ayat suci jika ditambahkan dengan instrumen musik dapat kita hukumi sebagai bida’ah yang buruk. Secara filosofis, meminjam kalimat Muhammad Ainun Nadjib yang mengatakan bahwa lantunan azan dan ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah suatu keindahan yang sangat tinggi. Dan hal tersebut tidak perlu lagi ditambah dengan embel-embel instrumen musik.

Justru ketika ditambah dengan embel-embel instrumen musik, keindahan lantunan azan dan ayat-ayat suci akan terdegrasi dan terdistorsi keindahannya. Jika musik digunakan untuk mengkritik sebuah kekuasaan yang melahirkan kebijakan-kebijakan tidak adil apakah bisa dikatakan bid’ah buruk? Tentu tidak sama sekali, musik dengan syair-syairnya bisa menjadi media untuk menciptakan bid’ah yang baik. Musik yang digunakan untuk mengiringi syair-syair penyadaran tentang nilai-nilai KeTuhanan dan  nilai-nilai bijak kemanusiaan justru sangat baik untuk keindahan hidup.

Itulah musik. ia adalah fitrah manusia yang tidak mungkin bisa lepas dari kehidupan. Ia adalah entitas yang bebas nilai dari haram atau halal, syirik atau esa, bid’ah baik atau bid’ah buruk. Baik buruknya musik sangat tergantung kepada siapa yang menggunakannya, dalam kepentingan apa, dalam konteks apa dan dalam ruang dan waktu apa.

Budaya apa pun di dunia ini tidak akan terlepas dari musik. kita dapat memprediksi karakter dan watak budaya manusia (dalam letak geografis tertentu) melalui alunan musik dan syair-syairnya. Kita dapat mengenal relung-relung perasaan seseorang dari budaya tertentu melalui karakter musik yang diekspresikannya.

Apa jadinya jika kehidupan manusia tanpa adanya musik, sama saja dengan manusia tercipta tanpa dilengkapi dengan indera pendengaran. Sama saja dengan manusia dan hewan yang terlahir tuli jika tidak dapat hidup seirama dengan musik alam dan musik karya manusia.

Musik adalah pesan-pesan rasa yang sangat jujur dan tulus menyampaikan sesuatu pada semesta tanpa kebohongan dan sandiwara kepalsuan. Manusia seharusnya bisa belajar (mengambil hikmah) dari musik yang selalu jujur dan tulus bertutur kata kepada semesta. Mengapa  justru manusia yang fitrahnya Dicipta sebagai “pengelola” semesta justru mengingkari dan tidak dapat mengambil pelajaran sama sekali dari karya Sang Haliq (potensi musik)?

Jadi, berekspresilah (bermusiklah) dengan beradab, melihat kepastian konteks, melihat kecocokan budaya, melihat kelayakan ruang dan waktu. Janganlah merusak kesucian musik dengan nafsu-nafsu hewanimu. Menciptakan kebisingan umum, tidak merasakan iba terhadap tetangga yang sedang sakit, tetangga yang sedang beribadah, tetangga yang sedang ingin ketenangan dan kenyamanan.

Perlakukanlah musik seperti seharusnya dan sebagaimana adanya ia Diciptakan Oleh Sang Khaliq sebagai sesuatu keindahan semesta. Jalaludin Rumi berkata tentang “musik haram” adalah suara piring dan sendok tetangga yang beradu di meja makan orang kaya, yang terdengar oleh tetangga kelaparan. Berempatilah terhadap sesama makhluk. Sebelum mencubit orang lain terlebih dahulu cubitlah diri sendiri. Apa bila terasa sakit, maka janganlah engkau mencubit orang lain. (Darwin Safiu MKes)

Penulis merupakan Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat FIK UNSIL

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *