RADAR TASIKMALAYA – Cipatujah merupakan sebuah wilayah pesisir di selatan Kabupaten Tasikmalaya, telah menunjukkan geliat pertumbuhan ekonomi berbasis perikanan budidaya, khususnya tambak udang vannamei (Litopenaeus vannamei).
Kawasan ini dikenal memiliki potensi lahan yang luas, akses air laut yang memadai, serta semangat petambak lokal yang tinggi. Namun, seperti banyak sentra tambak intensif lainnya, Cipatujah menghadapi tantangan besar dalam menjaga kualitas air dan mencegah wabah penyakit yang dapat menghancurkan produksi dalam hitungan hari.
Salah satu akar masalah yang sering dihadapi petambak adalah akumulasi senyawa toksik dalam air tambak, seperti amonia (NH₃/NH₄⁺) dan nitrit (NO₂⁻). Kedua senyawa ini muncul dari hasil dekomposisi sisa pakan dan kotoran udang, yang dalam jumlah tinggi bisa sangat merusak sistem fisiologis udang. Amonia dalam bentuk bebas (NH₃) dapat merusak insang dan menurunkan kadar oksigen dalam tubuh udang, sementara nitrit mengganggu transportasi oksigen dalam darah (mengoksidasi hemosianin menjadi methemosianin). Akumulasi amonia dan nitrit tidak hanya memperlambat pertumbuhan udang, tetapi juga memicu stres kronis yang membuka pintu bagi infeksi penyakit berbahaya.
Dua penyakit yang paling ditakuti petambak udang vannamei di Indonesia adalah White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan Early Mortality Syndrome (EMS) yang disebabkan oleh Vibrio parahaemolyticus. Kedua penyakit ini kerap muncul saat kondisi lingkungan tambak memburuk terutama ketika kualitas air terganggu akibat tingginya limbah organik dan ketidakseimbangan mikrobiologis. Di sinilah peran bioremediasi berbasis bakteri probiotik menjadi solusi yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga sangat strategis.
Bioremediasi adalah pendekatan pengelolaan kualitas air dengan memanfaatkan mikroorganisme tertentu untuk mengurai zat pencemar secara biologis. Dalam konteks tambak udang, bakteri probiotik seperti Bacillus, Nitrosomonas, Nitrobacter, dan Lactobacillus digunakan secara selektif untuk mendegradasi limbah organik, mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan kemudian nitrat, serta menekan populasi bakteri patogen.
Bakteri Bacillus subtilis dan Bacillus licheniformis, misalnya, tidak hanya efektif dalam mendegradasi protein sisa pakan yang menghasilkan amonia, tetapi juga menghasilkan senyawa antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan Vibrio spp., penyebab utama EMS. Sementara itu, Nitrosomonas dan Nitrobacter membantu menstabilkan siklus nitrogen dengan mengoksidasi amonia menjadi bentuk yang tidak berbahaya. Dengan menjaga parameter air tetap stabil dan bebas dari racun, probiotik secara tidak langsung menurunkan risiko munculnya WSSV dan EMS.
Lebih dari itu, penerapan bioremediasi dengan probiotik menciptakan keseimbangan ekosistem mikroba (microbial balance) dalam tambak. Lingkungan yang stabil secara mikrobiologis menghambat dominasi bakteri oportunistik yang biasanya berkembang saat kondisi air memburuk. Hal ini sangat penting, karena sebagian besar penyakit pada udang bermula dari ketidakseimbangan mikrobiota tambak.
Namun, untuk mencapai keberhasilan program ini di Cipatujah, diperlukan pendekatan holistik dan dukungan lintas sektor. Pertama, pendataan kualitas air dan laju pencemaran secara berkala harus dilakukan untuk memetakan kebutuhan probiotik dan menentukan jenis serta dosis yang tepat. Kedua, pelatihan teknis bagi petambak lokal sangat penting, agar mereka memahami bagaimana dan kapan probiotik harus diaplikasikan baik melalui air maupun campuran dalam pakan. Ketiga, perlu dibangun kemitraan antara pemerintah daerah, dinas perikanan, lembaga riset, dan sektor swasta untuk menjamin ketersediaan produk probiotik yang berkualitas dan sesuai dengan karakteristik lingkungan lokal Cipatujah.
Tak kalah penting adalah komitmen pemerintah dalam mendukung pendekatan akuakultur berkelanjutan. Insentif bagi petambak yang menerapkan teknologi hijau seperti bioremediasi, serta regulasi untuk mencegah penggunaan bahan kimia dan antibiotik secara berlebihan, akan mempercepat transformasi sistem tambak dari konvensional ke sistem yang lebih sehat dan berdaya saing.
Dengan optimalisasi bioremediasi menggunakan bakteri probiotik, Cipatujah memiliki peluang besar untuk menjadi model budidaya udang berkelanjutan di pesisir selatan Jawa Barat. Tidak hanya menghasilkan udang berkualitas tinggi, tetapi juga melindungi lingkungan dan mengurangi risiko gagal panen akibat penyakit. Ini bukan hanya investasi dalam produktivitas, tetapi juga dalam keberlanjutan dan ketahanan pangan masa depan. (Muhammad Febi Muharram)
Penulis adalah mahasiswa S2 Magister Sumberdaya Akuatik, Universitas Jenderal Soedirman.