RADAR TASIKMALAYA – Bangsa ini tampaknya tidak pernah kehabisan bahan perdebatan. Belum selesai urusan bansos dan politik pilkada, kini kita sibuk membahas: apakah Jenderal (Purn) Soeharto layak diberi gelar Pahlawan Nasional?
Pertanyaannya sederhana, tapi jawabannya ternyata bisa mengaduk memori nasional. Bagi sebagian orang, Soeharto adalah ”Bapak Pembangunan”, simbol stabilitas, penegak ketertiban, penyelamat bangsa dari kekacauan pasca-1965. Tapi bagi sebagian yang lain, namanya identik dengan represi, pembungkaman, dan sistem korupsi yang rapi tapi rapuh. Maka tak heran, setiap kali nama Soeharto disebut, bangsa ini mendadak terbelah dua: antara yang rindu masa lalu dan yang masih trauma olehnya.
Lucunya, di negeri ini, perdebatan soal ”siapa pahlawan” kadang lebih heboh daripada meneladani semangat kepahlawanan itu sendiri. Kita bisa berhari-hari membahas nama besar di televisi dan media sosial, tapi jarang bertanya: sudahkah kita berbuat sesuatu yang pantas disebut perjuangan?
Padahal, jika definisi ”pahlawan” adalah orang yang rela berkorban demi bangsa, maka banyak orang kecil di sekitar kita yang jauh lebih layak—hanya saja tak punya tim sukses atau ormas pendukung. Ada guru yang puluhan tahun mengajar di kampung terpencil tanpa fasilitas, ada perawat yang setia di puskesmas walau gajinya terlambat, ada relawan yang membersihkan sungai tanpa publikasi. Tapi mereka tak pernah diusulkan ke Presiden, apalagi dibicarakan di talkshow.
Kita memang gemar memuja yang monumental dan melupakan yang sunyi. Pahlawan bagi kita harus punya seragam, foto hitam putih, dan makam megah. Padahal, bangsa ini bertahan justru karena kerja diam-diam orang-orang biasa.
Isu Soeharto sebenarnya memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam: betapa bangsa ini belum selesai berdamai dengan masa lalunya sendiri. Kita bingung menentukan sikap terhadap tokoh yang punya dua wajah sejarah—satu berjasa, satu berdosa.
Tapi bukankah itu juga cermin dari karakter bangsa kita yang gemar memaafkan tanpa belajar, mengagungkan tanpa meneladani, dan mengutuk tanpa memahami? Kita ingin tokoh besar yang sempurna, padahal sejarah selalu lahir dari manusia yang tidak sempurna.
Soeharto adalah paradoks yang nyata: ia membangun, tapi juga membungkam; ia menyejahterakan, tapi juga memperkaya lingkar kekuasaan; ia memberi stabilitas, tapi mengorbankan kebebasan. Lalu, bagaimana mungkin kita menilai satu sisi dan menghapus sisi lainnya? Bukankah sejarah yang jujur justru menampung keduanya?
Barangkali bangsa ini bukan sedang mencari siapa yang paling berjasa, tapi siapa yang paling cocok dengan suasana batin kolektif hari ini. Dalam masa yang serba tidak pasti, banyak orang merindukan figur kuat seperti Soeharto—sosok yang dianggap bisa mengendalikan keadaan, membuat harga-harga stabil, dan menertibkan yang ribut. Kerinduan itu lebih bersifat emosional ketimbang historis. Kita rindu ”ketertiban”, bukan ”otoritarianisme”; tapi sering kali dua hal itu datang dalam satu paket.
Maka wajar, ketika ada usulan memberi Soeharto gelar pahlawan, sebagian rakyat seolah berkata, ”Kita butuh figur seperti dulu.” Padahal yang kita butuhkan bukan figur masa lalu, melainkan moral masa lalu: disiplin, tanggung jawab, keberanian menanggung keputusan, dan kerja keras tanpa keluhan. Itu nilai yang bisa diwarisi, tanpa harus mengulang sistemnya.
Sayangnya, di republik ini, kata ”pahlawan” sering bergeser maknanya. Ia tidak lagi soal pengorbanan, tapi soal pengakuan. Semakin besar panggungnya, semakin besar peluang disebut pahlawan. Bahkan ada yang berjuang demi disebut ”pahlawan” lebih dulu, baru kemudian berbuat sesuatu.
Sementara itu, para pahlawan kecil yang nyata justru berjalan tanpa suara. Tidak mereka yang mendapat bintang tanda jasa, tapi mereka yang tetap bekerja jujur ketika semua orang mencari celah. Tidak mereka yang viral di media, tapi yang menolak sogokan kecil di kantor kelurahan. Mereka mungkin tidak tercatat di arsip negara, tapi tercatat di hati nurani bangsa.
Soeharto mungkin memang punya jasa besar. Tapi gelar ”Pahlawan Nasional” seharusnya bukan sekadar penghargaan atas jasa, melainkan juga pengakuan moral. Dan di titik inilah polemik muncul: apakah bangsa ini sudah siap memaafkan masa lalu tanpa kehilangan daya kritis terhadapnya? Atau kita hanya ingin melupakan bagian yang membuat tidak nyaman?
Menjadikan Soeharto pahlawan bisa dimaknai sebagai rekonsiliasi, tapi juga bisa dianggap simplifikasi sejarah. Karena sejarah tidak bisa disembuhkan dengan gelar. Ia harus dipahami, dibicarakan, dan diakui apa adanya—agar generasi berikutnya tahu bahwa kekuasaan besar tanpa kontrol bisa berujung pada penyesalan besar pula.
Barangkali bangsa ini terlalu sibuk mencari pahlawan sampai lupa menjadi pahlawan. Terlalu sering kita memuja sosok masa lalu, sementara di masa kini, kita terus memproduksi ketidakadilan baru. Padahal, yang membuat bangsa besar bukan banyaknya patung pahlawan, tapi banyaknya orang biasa yang diam-diam berbuat baik.
Dan mungkin, jika kita mau jujur, negeri ini tidak kekurangan pahlawan—hanya saja terlalu banyak yang sibuk membicarakan siapa yang pantas diberi gelar, bukan siapa yang pantas diteladani. (Aye Rakhmat Hidayat)
Penulis adalah esais, kolumnis, dan cerpenis asal Tasikmalaya.




