Manusia Pencipta Kondisi Lahirnya Bencana

Lingkungan129 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Akhir November 2025, The Jakarta Post menyajikan informasi mengenai kondisi cuaca pasca terbentuknya Siklon Senyat yang memasuki Selat Malaka dan daratan Sumatra, memicu hujan sangat lebat hingga mengakibatkan banjir dan longsor di provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

AP News membeberkan implikasi dari Siklon Senyat tersebut banyak rumah terendam, rusak, dan sejumlah besar orang dinyatakan meninggal dunia dan hilang.

The Australian juga merilis informasi bahwa di wilayah Batang Toru, Sumatra Utara yang juga merupakan habitat terakhir orangutan Tapanuli terjadi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh deforestasi, pertambangan, dan alih guna lahan. Aktivitas-aktivitas itu mengakibatkan hilangnya kapasitas alam untuk meredam aliran air, hingga kita bisa melihat realitas yang terjadi sekarang, banjir dan longsor menjadi semakin parah menghujam rumah-rumah pemukiman penduduk. Tragedi itu hanyalah salah satu bencana dari banyak bencana alam yang terjadi di bumi Indonesia.

Tragedi tersebut menyiratkan bagaimana gagalnya kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada keseriusan menjaga keseimbangan antara alam  lestari dan tercukupinya kebutuhan perut manusia. Nilai Islam memberi pesan bahwa semestinya manusia memiliki kesadaran diri sebagai pemelihara alam, namun ketika manusia berada di era modern kini, justru kerap melalukan aksi eksploitasi alam lingkungan.

Regulasi disusun sekedar formalitas hukum belaka tetapi dibalik itu membuka peluang sebesar-besarnya arah merusak alam tanpa rasa tanggung jawab, tanpa etika dan tanpa kesadaran bahwa alam juga bagian dari diri manusia. Alam raya ini berjalan sesuai dengan hukum-hukum Ilahiah, mereka tanpa nafsu dan akal. Tetapi mengapa sebagian manusia bernafsu busuk selalu menjadikan kambing hitam atas bencana-bencana yang terjadi.

Semestinya, ketika bencana terjadi kita tidak terburu-buru menjastifikasi bahwa alamlah yang menjedi penyebabnya. Penulis mengakui bahwa ada bencana terjadi akibat faktor alamiah dari dialektika alam tanpa campur tangan manusia. Hanya saja ada pula bencana yang secara langsung atau tak langsung disebabkan oleh “tangan-tangan” busuk oknum manusia.

Atas bencana yang terjadi, adalah sebuah keniscayaan terdapat sumbangsing manusia di dalamnya. Atas bencana yang terjadi, manusia dengan sengaja atau tidak, mencipta sebuah kondisi pemicu agar bencana itu datang, undangan itu dibuat atas persetujuan manusia itu sendiri.

Penebangan pohon untuk kebutuhan perut, pembukaan lahan baru untuk perkebunan atau permukiman di lokasi-lokasi yang semestinya menjadi daya tampung dan daya tahan terhadap arus air ketika musim hujan atau cuaca ekstrim terjadi. Penulis menganggap bahwa alam bereaksi terhadap apa yang manusia lakukan.

Alam bereaksi sangat tergantung dari perbuatan apa yang dikerjakan oleh manusia, entah itu laku baik maupun laku buruk. Jangan lupa bahwa satu-satunya mahluk ciptaan Tuhan yang dilengkapi akal dan nafsu hanyalah manusia. Alam raya tidak memiliki itu, mereka hanya menjalankan “perintah” seusai dengan hukum-hukum Ilahiah yang telah tertuliskan.

Manusia sebagai mandataris Allah atau khalifah fi al-ard untuk mengelola dan memakmurkan bumi belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Manusia sebagai wakil Allah di bumi, seharusnya bisa mengelola dan memanfaatkan bumi sebaik mungkin, bukan memanfaatkan sepenuhnya dengan tidak ada batas wajar.

Kesadaran aktor-aktor kebijakan semestinya tidak hanya sebatas kesadaran “ekonomi-perut” tetapi lebih menanjak lagi pada kesadaran “ekonomi-benefit” bahkan mesti lebih tinggi lagi pada kesadaran sebagai wakil Tuhan di bumi ini. Kesadaran aktor-aktor kebijakan lebih dekat pada ideologi antroposentrisme.

Antroposentrisme merupakan salah satu teori etika lingkungan hidup, tetapi selalu menitik beratkan kepada manusia sebagai superioriti kehidupan. Tidak heran, jika ideologi antroposentrisme dianggap dangkal dalam memandang suatu alam hanya demi kepentingan manusia, padahal keberadaan manusia akan terus membutuhkan lingkungan dengan tekstur keseimbangan ekologi.

Arne Naess, seorang filsuf lingkungan hidup asal Norwegia menawarkan teori Deep Ecology, pandangan yang lebih dalam kepada lingkungan, dengan alasan pandangan kita terhadap alam terlalu dangkal, sebagaimana antroposentrisme. Deep Ecology yang merupakan teori ekosentrisme memberikan pengaruh berupa perluasan pandangan etika yang keberadaannya menganggap semua entitas biotis ataupun non-biotis adalah subjek moral, sehingga subjek moral tidak hanya manusia saja melainkan hewan, tumbuhan dan benda mati harus diperlakukan secara bermoral.

Ajaran Islam memberikan rambu-rambu dan prinsip-prinsip etika bagi manusia untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Sehingga, etika Islam tidak hanya memuat ajakan moral, tetapi juga berfungsi sebagai panduan praktis bagi manusia dalam melestarikan lingkungan hidup untuk kebaikan generasi sekarang dan mendatang.

Demi masa mendatang, perlu kiranya menumbuhkan esensi mengenai cara pandang etika dan moral terhadap lingkungan tempat manusia hidup. Etika lingkungan merupakan pedoman tentang cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang didasari atas nilai-nilai positif untuk mempertahankan fungsi dan kelestarian lingkungan.

Akan tetapi manusia tidak pula terjebak pada eco-fascism yaitu fasis lingkungan, meminjam istilah Ton Dietz. Dari segi etika yang bertujuan melindungi lingkungan dari semua malapetaka bikinan manusia, hal itu tentu saja baik. Namun buruk secara etis, bila akibatnya membuat manusia tidak dapat menggunakan lingkungan hidup itu lagi karen serba dilarang.

Di sinilah dibutuhkan kebijkasanaan agar tetap selaras antara kebutuhan hidup manusia dan alam lingkunga lestari. Kebijakan lahir sangat tergantung dari siapa saja yang menjadi aktornya. Para aktor kebijakan adalah kunci dalam pengelolaan alam raya ini. Integrasi nilai-nilai etika lingkungan sangatlah perlu dalam merevisi kebijakan-kebijakan yang kurang melindungi lestarinya alam lingkungan.

Sebab konsep kebijakan dan penerapan kebijakan yang kuat adalah salah satu faktor kunci dalam menjaga alam tetap lestari dan dikelola seoptimalnya demi kebutuhan manusia di masa mendatang. Resiko-resiko lingkungan yang menyebabkan bencana alam banjir, longsor dan perubahan iklim dapat diminilisir agar laku manusia terarah pada cipta kondisi untuk tidak mengundang lagi datangnya bencana yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda. (Darwin Safiu SKM MKes)

Penulis merupakan Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat FIK Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *