Indonesia-Korea Selatan: Diplomasi dalam Inovasi

RADAR TASIKMALAYA – Indonesia dan Korea Selatan memiliki jejak sejarah yang tak jauh berbeda. Keduanya lahir dari perjuangan panjang melawan kolonialisme dan bangkit dari masa-masa sulit menuju kemandirian ekonomi. Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, sementara Korea Selatan telah merdeka dua hari sebelumnya. Kedua bangsa ini sama-sama pernah menghadapi kemiskinan ekstrem dan keterpurukan ekonomi.

Lima dekade kemudian, kedua negara kembali diuji oleh badai krisis finansial Asia tahun 1998. Sistem keuangan runtuh, perusahaan besar tumbang, dan jutaan orang kehilangan pekerjaan. Namun di tengah keterpurukan itu, arah kebijakan kedua negara menunjukkan dua jalur transformasi yang berbeda. Korea Selatan menjadikan krisis sebagai momentum untuk mereformasi struktur ekonominya secara menyeluruh dengan mendorong transparansi korporasi, memperkuat industri teknologi, dan membangun ekosistem inovasi berbasis riset dan talenta muda.

Indonesia pun melakukan langkah penting melalui agenda reformasi secara ekonomi dan politik. Akan tetapi, Korea Selatan bergerak lebih cepat dalam memperkuat human capital dan kultur inovasinya. Upaya perubahan struktural bahkan dilakukan secara konsisten sejak 1960-an, dimulai dengan penguatan industri manufaktur berbasis ekspor dan kini Korea Selatan bertransformasi sebagai salah satu innovation-driven economy paling dinamis di dunia. Sementara itu, Indonesia masih mengejar melalui akselerasi hilirisasi, transformasi digital, dan penguatan kapasitas manusianya.

Perbedaan arah transformasi itu tampak jelas ketika melihat angka-angka terbaru. Pada 2025, data IMF menunjukkan GDP per kapita Purchasing Power Parity (PPP) Indonesia mencapai sekitar USD 17.633, angka yang menunjukkan kemajuan signifikan dibandingkan masa krisis 1998 ketika pendapatan per kapita hanya sekitar USD 3.845. Namun pada periode yang sama, Korea Selatan bergerak dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi. Pendapatan per kapita Korea Selatan (PPP) saat ini berada di kisaran USD 65.080, melesat jauh dari titik krisisnya pada 1998 yang berada di sekitar USD 14.004.

Lompatan besar ini bukan sebuah kebetulan, namun mencerminkan konsistensi Korea Selatan dalam membangun kultur inovasi. Kultur yang menempatkan riset, teknologi, dan kualitas sumber daya manusia sebagai pendorong utama pertumbuhan yang berkelanjutan. Tidak mengherankan bila hari ini Korea Selatan berada di peringkat ke-4 dunia dalam Global Innovation Index 2025, sementara Indonesia berada di posisi ke-55.

Perbedaan level itu bukan alasan untuk pesimis. Justru menjadi pengingat bahwa agenda hilirisasi, transformasi digital, dan penguatan kapasitas manusia yang tengah digenjot Indonesia merupakan langkah yang tepat. Tantangannya kini adalah memastikan konsistensi kebijakan, keberlanjutan reformasi struktural, dan keberanian untuk menempatkan inovasi sebagai salah satu pusat strategi pembangunan, sebagaimana pernah dilakukan Korea Selatan.

Diplomasi dalam Inovasi

Dalam dunia yang semakin terhubung, diplomasi tidak lagi terbatas pada politik dan perdagangan. Inovasi kini menjadi instrumen diplomasi baru dalam menyatukan bangsa melalui kolaborasi teknologi dan solusi bersama. Salah satu wujud nyata dari diplomasi inovasi ini adalah ujicoba atau sandboxing QRIS Cross-Border antara Indonesia dan Korea Selatan yang ditargetkan untuk implementasi awal 2026.

Melalui gagasan proyek ini, otoritas moneter kedua negara berupaya membangun sistem pembayaran lintas batas yang cepat, aman, dan efisien. Inisiatif tersebut tidak sekadar tentang teknologi, tetapi juga simbol kepercayaan dan persahabatan antarbangsa. QRIS Cross-Border menghadirkan kemudahan transaksi sekaligus memperdalam kerja sama ekonomi antara dua negara yang sama-sama menaruh perhatian besar pada inklusi keuangan dan inovasi digital.

Potensi manfaat dari inisiatif ini juga memberikan sinyal positif bagi dua sektor penting, yaitu pariwisata dan pekerja migran. Di sektor pariwisata, kemudahan pembayaran lintas batas akan semakin relevan mengingat jumlah wisatawan Korea Selatan yang berkunjung ke Indonesia pada 2024 mencapai 436.054 orang yang rata-rata menginap selama 9,1 hari dan mengeluarkan USD 1.384 per kunjungan (BPS, 2025). Di sisi lain, para pekerja migran Indonesia di Korea Selatan mencapai 41.718 orang dalam lima tahun terakhir (BP2MI, 2025). Keduanya berpotensi merasakan manfaat dari efisiensi pembayaran dan biaya transaksi yang lebih rendah.

Lebih jauh lagi, inisiatif ini akan membuka ruang bagi integrasi keuangan yang lebih kuat. Melalui perluasan penggunaan mata uang lokal (Local Currency Transaction atau LCT) dalam transaksi antarnegara. Inisiasi kerja sama ini diharapkan dapat berkontribusi nyata pada penguatan stabilitas makroekonomi nasional dan regional. Skema ini turut membantu memitigasi risiko volatilitas nilai tukar yang bersumber dari dinamika global, terutama fluktuasi dolar.

Langkah sandboxing QRIS Cross-Border menjadi jembatan konkret dalam proses tersebut, dimana nilai LCT Indonesia-Korea Selatan telah mencapai USD 85 juta selama Januari hingga Juli 2025 (BI, 2025). Kolaborasi inovasi ini sekaligus merangkai kesepakatan lain yang tercapai dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) the Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Summit 2025 pada 31 Oktober – 1 November 2025 di Kota Gyeongju, Korea Selatan lalu.

Kesepakatan tersebut menjadi momentum penting bagi Indonesia dan Korea Selatan untuk memperdalam hubungan ekonomi strategis, khususnya di bidang investasi, perdagangan, energi, digitalisasi, dan pengembangan industri masa depan (Kemenko Ekonomi, 2025). Hal ini sangat relevan mengingat skala ekonomi kedua negara terus tumbuh. Dalam lima tahun terakhir (2020–2024), Korea Selatan tercatat menempati posisi ketujuh sumber investasi asing langsung dengan nilai mencapai USD 11,3 miliar (BKPM, 2025). Di sisi lain, nilai ekspor Indonesia ke Korea Selatan mencapai USD 49,9 miliar pada periode yang sama (BPS, 2025).

Rangkaian angka tersebut menunjukkan bahwa hubungan ekonomi Indonesia–Korea bukan hanya intensif, tetapi juga saling melengkapi. Oleh karena itu, inovasi seperti QRIS Cross-Border dapat menjadi katalis pada era baru diplomasi ini. QRIS Cross-Border bukan hanya suatu bentuk standar teknologi pembayaran, tetapi simbol persahabatan dua bangsa yang sama-sama percaya bahwa inovasi adalah bahasa universal kemajuan.

Diplomasi dalam inovasi akan menjadi jembatan menuju masa depan ekonomi yang lebih maju, tangguh, dan berkelanjutan. Sebuah inovasi yang akan mewujudkan visi bersama untuk menghadirkan kemajuan dan manfaat nyata bagi kedua bangsa. (Adhy Ramawan Putra & Jong Hoon Shin)

Adhy Ramawan Putra adalah Ekonom Bank Indonesia dan Jong Hoon Shin adalah Assistant Professor, Xi’an Jiaotong Liverpool University. Keduanya merupakan Alumni Postgraduate The Ohio State University.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *