Echo Chamber dan Filter Bubble dalam Demokrasi Digital

RADAR TASIKMALAYA – Berbicara tentang demokrasi digital tidak sesederhana berbicara mengenai bagaimana teknologi melayani tujuan politik atau bagaimana forum diskusi publik berpindah dari media konvensional ke dalam media digital. Lebih dari itu, demokrasi digital membahas tentang perubahan cara berkomunikasi, cara menyampaikan, cara berdiskusi hingga cara interaksi antar masyarakat yang difasilitasi oleh media digital. Penggunaan media digital dalam mengakomodir isu-isu publik memberikan akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam diskusi publik tersebut. Teknologi digital juga memungkinkan konektivitas dan transfer informasi yang lebih besar antar individu. Pun, pemanfaatan teknologi digital menawarkan peningkatan transparansi dari pemerintah, partisipasi masyarakat, penyebaran informasi yang lebih luas dan cepat, telekomunikasi, dan yang lainnya.

Terlebih setelah adanya Covid-19 pemanfaatan digital seakan terus ditekan demi menunjang stabilitas kehidupan. Meskipun pemanfaatan teknologi digital banyak memberikan keuntungan positif tak jarang pula pemanfaatan teknologi digital mengancam kesehatan ruang publik dan mungkin demokrasi itu sendiri. Banyaknya konten yang bertebaran di media digital menjadikan masyarakat kebingungan untuk memilah informasi yang baik dan buruk, rentan terkena misinformasi, disinformasi, dan propaganda. Maka sangat penting untuk mengetahui bagaimana mekanisme kerja ruang digital, agar masyarakat sebagai pengguna sehari-hari media digital tidak terjebak dalam sisi negatif media digital. Echo Chamber dan Filter Bubble adalah hal yang diwaspadai saat menggunakan media digital.  

Echo Chamber atau ruang gema dapat dipahami sebagai ”tempat berlindung yang aman” yang memperkuat ”pandangan dari audiens yang berpikiran serupa” memperkuat konsistensi pemikiran audiens yang sama sekaligus bertindak sebagai perisai dari paparan pandangan kontra. Dampak dari ruang gema dapat menimbulkan polarisasi yang ekstrem. Kondisi ini hadir karena individu yang terjebak dalam ruang gema terpapar isu yang sama terus menerus sehingga menimbulkan kerangka berpikir yang homogen tanpa ingin mengetahui dan berdiskusi secara kepala dingin dengan individu di luar ruang gema tersebut. Ruang gema secara ideologis ekstrem dipandang sebagai tempat berkembang biak misinformasi dan disinformasi online. Sedangkan filter bubble, pengguna secara sengaja atau tidak sengaja menginstruksikan pada platform digital dengan jenis konten yang mereka minati sehingga konten atau topik yang tidak mereka minati semakin tersembunyi. Filter bubble dianggap sebagai polarisasi vertikal antara mereka yang sering menerima berita politik dan isu politik dengan mereka yang jarang atau bahkan tidak pernah terpapar isu politik, karena pada dasarnya filter bubble bergantung pada ”kesadaran user”. Berbeda dengan ruang gema yang dihasilkan dari kesengajaan.

Dalam beberapa tahun terakhir media sosial-khususnya algoritmanya memang dipercaya dapat melemahkan demokrasi. Platform media sosial telah tertanam sebagai praktik komunikasi sehari-hari, pembentukan komunitas dan berbagai informasi termasuk informasi politik. Algoritma media sosial juga berperan sebagai mesin pemilahan dan penyaringan informasi. Media sosial di tahun awal keberadaannya dibingkai sebagai alternatif dan membawa pembaharuan mencakup komunitas jejaring sosial seperti Facebook, YouTube, Twitter atau X dan Instagram. Dalam dinamika bersosial media membangun self branding, mikro selebriti dan streaming sudah seperti strategi pemasaran yang tertanam. Lanta, apa itu algoritma? Algoritma pada dasarnya menggunakan pengurutan menempatkan elemen daftar dalam urutan tertentu. Karena prinsip memilah ini lah yang dipakai untuk menentukan algoritma media sosial, maka, konten yang diedarkan kepada para pengguna cenderung adalah konten yang sering dicari atau diminati oleh pengguna media sosial tersebut.

Lalu bagaimana penyortiran media sosial dalam membentuk komunitas politik? Jawaban paling dominan adalah algoritma media sosial menggunakan filter bubble untuk memisahkan dan mempolarisasi pengguna ke dalam ruang gema. Selain itu media sosial juga dipercaya menjadi tempat subur kebangkitan dari populisme. Media sosial membantu penyebaran ujian kebencian, pesan pesan diskriminatif, penyebaran misinformasi dan disinformasi serta memperkuat suara populis dan ekstremis. Ruang gema dan filter bubble adalah dua ekspresi yang sering digunakan dalam menjelaskan bagaimana algoritma sosial media berjalan, tetapi sebenarnya ruang gema dan gelembung filter atau filter bubble ini memiliki arti yang berbeda. Ruang gema menurut Dubois dan Blank (2018) menggambarkan situasi di mana hanya ide, informasi dan keyakinan tertentu yang dibagikan di mana orang-orang hanya menemukan hal-hal yang sudah mereka sepakati. Mungkin contoh dari media sosial yang “lebih enak” untuk dipakai ruang gema adalah WhatsApp dan Facebook. Sementara filter bubble mengacu pada keadaan isolasi intelektual yang diduga merupakan hasil pencarian berbasis algoritma yang mengarahkan pengguna untuk memilih media dan konten yang memperkuat preferensi mereka pada saat ini. Contoh media sosial untuk menggunakan filter bubble adalah Tiktok, Twitter dan Instagram. Dalam media sosial tersebut biasanya orang-orang akan semakin ‘dijejali’ oleh konten yang mereka sering cari menggunakan fitur search. Meskipun sama sama terkait namun ruang gema lebih mengacu pada perilaku informasi manusia berbeda dengan filter bubble yang lebih mengacu pada efek algoritmik. Baik ruang gema ataupun filter bubble memfasilitasi pembentukan komunitas berdasarkan kesamaan terutama pada kepercayaan atau ideologi.

Bukan hal yang sulit bagi teknologi untuk memfasilitasi keberlangsungan demokrasi digital. Semakin kuat pengaruh teknologi dalam demokrasi maka semakin kuat pula literasi digital masyarakat sebagai penerima informasi. Ruang gema dan gelembung filter dapat menjelma sebagai penyebab terjadinya disinformasi dan misinformasi. Maka, sekali lagi, kemampuan literasi digital masyarakat harus bisa ditingkatkan lagi. Dewasa ini informasi yang beredar di platform digital manapun harus ditelusuri dahulu kebenarannya demi terjaganya iklim sehat ruang informasi, ruang diskusi, dan juga kesehatan informasi yang beredar di masyarakat. (Isti Azhari Putri Suntian)

Penulis adalah mahasiswa aktif magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *