Darurat Literasi Digital: Antara Informasi, Misinformasi, dan Disinformasi

Pendidikan154 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Literasi dalam konteks modern, tidak lagi hanya berarti kemampuan membaca dan menulis di atas kertas. Meskipun kemampuan ini adalah fondasi yang tak tergantikan, pandangan tersebut kini mulai usang. Di era revolusi digital dan globalisasi, literasi telah berevolusi menjadi sebuah konsep multidimensi, mencakup spektrum keterampilan kognitif dan sosial yang sangat vital untuk kesuksesan individual dan kolektif. Literasi bukan lagi sekadar kemampuan teknis, melainkan sebuah cara berpikir kritis. Ia melibatkan kemampuan untuk tidak hanya mengonsumsi informasi, tetapi juga untuk mengevaluasinya, memverifikasi kebenarannya, dan memahaminya dalam konteks yang lebih luas. Hal ini menjadikannya sebuah instrumen untuk memproduksi pengetahuan, berpartisipasi aktif, dan mengambil keputusan yang terinformasi.

Di era yang didominasi oleh internet dan media sosial, kemampuan yang paling krusial adalah literasi digital. Kemampuan ini menjadi fondasi bagi partisipasi yang cerdas dan aman dalam ekosistem digital. Sayangnya, saat ini kita tengah menghadapi apa yang disebut “darurat literasi digital”; sebuah kondisi genting di mana batas antara informasi yang valid dan disinformasi yang menyesatkan semakin kabur, mengancam kohesi sosial dan proses demokrasi.

Di tengah banjirnya berita, artikel, dan unggahan di media sosial, kemampuan untuk membedakan fakta dari hoaks dan opini dari kebenaran substantif adalah bentuk literasi yang paling krusial. Inilah literasi digital dan literasi media yang memungkinkan kita menjadi pengguna internet yang cerdas dan bertanggung jawab, bukan sekadar penerima pasif.

Akses massal internet dan media sosial di Indonesia sangatlah tinggi. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) secara rutin melakukan survei nasional mengenai penetrasi dan perilaku pengguna internet di Indonesia. Hasil survei untuk periode terbaru (misalnya 2024-2025) menunjukkan bahwa 80,66% populasi mengakses internet. Pengguna Indonesia juga menghabiskan waktu yang signifikan di platform media sosial setiap harinya.

Platform digital beroperasi berdasarkan algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan waktu keterlibatan (engagement) pengguna. Hal ini sering berarti pengguna cenderung hanya disajikan konten yang sudah mereka setujui atau yang mirip dengan preferensi mereka sebelumnya. Fenomena ini menciptakan ‘kamar gema’ (echo chamber) dan ‘gelembung filter’ (filter bubble) yang memperkuat bias serta membuat pengguna resisten terhadap pandangan berbeda atau fakta yang berlawanan. Ini adalah mekanisme utama yang melanggengkan disinformasi.

Akses massal internet dan media sosial ini menyebabkan fenomena “infoxication“, yaitu suatu kondisi kelebihan informasi (information overload) yang membanjiri seseorang. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam memahami, memproses, dan mengambil keputusan secara efektif, serta menimbulkan kecemasan, stres, dan penurunan produktivitas akibat banyaknya data yang tidak relevan atau disinformasi di era digital.

Darurat kognitif yang melanda saat ini, menuntut pemahaman kita terhadap tiga konsep fundamental dalam ekosistem digital. Pertama, Informasi, yang didefinisikan sebagai data yang akurat, relevan, dan bermanfaat, serta didasarkan pada fakta yang dapat diverifikasi. Kedua, Misinformasi, yaitu penyebaran informasi yang terbukti salah atau tidak akurat, namun penyebarannya tidak didasari oleh niat jahat atau tujuan menipu, melainkan murni terjadi akibat kekeliruan atau ketidaktahuan penyebarnya terhadap fakta yang benar. Ketiga, Disinformasi, yang merupakan informasi yang salah secara sengaja dibuat dan disebarkan dengan tujuan untuk menipu, memanipulasi opini publik, atau menciptakan kekacauan. Misinformasi dan disinformasi inilah yang menjadi pemicu utama polarisasi sosial dan politik, meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi vital seperti media, pemerintah, bahkan sains.

Dunia digital bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah perpustakaan universal, sumber pengetahuan tanpa batas, dan alat penghubung yang revolusioner. Di sisi lain, ia adalah ladang subur bagi narasi palsu, teori konspirasi, dan manipulasi emosional.

Penggunaan media sosial dan akses internet di Indonesia melonjak pesat. Ironisnya, menurut data terbaru INDEF, tingkat literasi digital Indonesia masih relatif rendah, hanya sekitar 62%, menempatkannya di bawah rata-rata ASEAN (70%). Hal ini menyoroti kesenjangan besar dalam keterampilan digital dan kerentanan terhadap kejahatan siber (cybercrime) seperti phishing, investasi bodong, pinjaman online ilegal, dan kebocoran data, sekaligus menjadikannya wadah strategis untuk menyebarkan berita bohong (hoaks) secara masif.

Disinformasi modern menggunakan teknik canggih, seperti deepfake (video atau audio palsu yang sangat meyakinkan), bot dan troll (akun otomatis atau berbayar untuk memanipulasi tren), dan clickbait emosional yang menargetkan kerentanan psikologis.

Untuk mengatasi darurat ini, upaya harus difokuskan pada penguatan benteng pertahanan paling mendasar, yaitu kemampuan individu untuk berpikir kritis dalam lingkungan digital. Ini termasuk verifikasi, seperti memeriksa kredibilitas dan reputasi sumber, mencari bukti pendukung, dan membandingkan narasi dari berbagai sumber tepercaya. Selain itu, penting juga mengenali pola manipulasi (misalnya, menyadari penggunaan judul provokatif, gambar yang tidak relevan, atau narasi yang memicu kemarahan/ketakutan berlebihan), serta melindungi privasi pribadi. Namun, peningkatan keterampilan individu saja tidak cukup. Diperlukan peran pemerintah, regulator, dan kolaborasi multipihak (swasta, akademisi, dan komunitas).

Darurat Literasi Digital adalah masalah kolektif yang membutuhkan solusi kolektif. Kita harus beralih dari sekadar menjadi konsumen pasif menjadi kurator informasi yang aktif dan kritis. Dalam pertempuran antara informasi, misinformasi, dan disinformasi, literasi digital adalah perisai utama yang dapat melindungi akal sehat, komunitas, dan masa depan digital kita.

Darurat ini bukanlah ancaman fiktif, melainkan realitas yang mengintai stabilitas sosial dan mental bangsa. Mewujudkan masyarakat yang cakap digital adalah investasi krusial untuk masa depan demokrasi dan kesejahteraan Indonesia, dimulai dari kesadaran kita untuk memverifikasi sebelum mempercayai.

Indri Silpiani

Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Arab UNIK Cipasung

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *