Bahaya Durasi Screen Time Berlebihan pada Anak Usia Dini

Pendidikan34 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Di era digital saat ini, pemandangan anak usia pra-sekolah yang duduk tenang terpaku pada layar gawai (gadget) bukanlah hal yang asing. Bagi banyak orang tua yang sibuk, gawai sering kali menjadi solusi instan atau “pengasuh digital” yang ampuh untuk menenangkan anak yang rewel atau sekadar membuat mereka duduk diam saat makan. Namun, di balik ketenangan fisik yang terlihat saat anak menatap layar, sedang terjadi proses mental yang kompleks—dan berpotensi merugikan—di dalam otak mereka yang sedang berkembang pesat.

Masa pra-sekolah (usia 3-6 tahun) dikenal sebagai golden age, di mana fondasi kemampuan sosial dan regulasi emosi mulai dibangun. Ketika durasi screen time melebihi batas wajar dan menggantikan interaksi dunia nyata, stabilitas emosional anak menjadi taruhannya. Fenomena ini memicu pertanyaan krusial: sejauh mana paparan layar berlebih dapat mengikis kemampuan anak dalam mengelola amarah, kesabaran, dan empati? Tulisan ini akan menyoroti bagaimana durasi penggunaan gawai yang tidak terkontrol dapat menjadi bom waktu bagi perkembangan emosional anak usia dini.

Screen time pada anak memiliki dampak positif dan negatif. Manfaatnya termasuk mendorong ekspresi kreatif dan pemikiran kritis pada anak tanpa membatasi mereka pada batasan dunia nyata. Dampak negatif dari screen time lebih banyak daripada dampak positif, yakni kecanduan, kurangnya konsentrasi, keterlambatan bicara dan paparan radiasi. Penggunaan gadget pada anak memiliki dampak negatif yang cukup besar. Balita menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk bermain gadget, sehingga membuat mereka cenderung malas bergerak dan beraktivitas yang dapat mengganggu motorik kasar. Lambat tahun balita akan melupakan kesenangan bermain dengan teman-temannya

Hal ini dilatarbekalangi dengan adanya kelalaian pendampingan orang tua, di mana awal mula diberikannya screen time sebagai “pengasuh digital” agar sedikit memberikan waktu luang untuk beristirahat atau me time ( menikmati waktu sendiri ) agar sedikit menghilangkan rasa jenuh atau bosan terhadap kegiatannya yang dianggap monoton. Namun, karena tidak adanya pengawasan atau kontrol video dan kontrol visual dari orang tua menyebabkan anak ketagihan bahkan kecanduan terhadap gawai. Akibatnya, ketika gadget  tersebut diambil, alih-alih sebagai penenang menjadi penyebab anak tantrum dan susah mengontrol emosinya.

Anak yang ketagihan gadget cenderung tak sabar menghadapi kesulitan maupun kelambatan dalam kehidupan setiap harinya, dan menurunnya kemampuan bersosialisasi. Jika anak-anak memiliki kebiasaan memainkan game atau screen time lebih dari satu jam setiap harinya, mereka mungkin kehilangan waktu untuk bermain, belajar,  berinteraksi dengan orang tua dan beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini menyebabkan anak sulit untuk menghargai dirinya bahkan orang lain. Berbeda dengan anak yang terawasi dan terisolasi dari penggunaan gadget berlebih. Perkembangan-perkembangan dalam dirinya cenderung terkontrol dan terstimulus sesuai dengan usia perkembangannya. Tepatnya perkembangan sosial emosionalnya dapat mengontrol emosi dan berinteraksi dengan orang lain secara baik. Hal ini membantu anak untuk mengenal identitas dirinya juga perannya dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir anak yang kecanduan gadget adalah dengan ada adanya kontrol orang tua dan stimulasi tertentu. Dengan adanya kegiatan bersama antara orang dan anak bisa melatih sosial dan regulasi emosi. Regulasi emosi adalah merujuk pada proses di mana anak mempengaruhi apa yang mereka miliki, kapan mereka memilikinya, dan bagaimana mereka mengalami dam mengekspresikannya.

Pertama, regulasi emosi bukan berarti menekan atau menghilangkan emosi, melainkan tentang mengelola intensitas, durasi, dan jenis respons emosional agar sesuai dengan tujuan dan tuntutan situasional. Adapun regulasi emosi pada anak usia dini adalah kemampuan anak yang berkembang secara bertahap untuk mengelola dan merespons pengalaman emosional yang intens sepeti marah, sedih, tantrum, bahkan frustasi dengan cara yang dapat diterima secara sosial dan yang memfasilitasi adaptasi.

Kedua, manajemen dimulai dengan modeling dari orang tua. Anak usia dini adalah peniru yang baik. Oleh karena itu, orang tua harus menjadi contoh yang baik untuk ditiru anak, karena anak usia dini belajar melalui peniruan dan bimbingan. Anak akan sulit memahami larangan jika mereka melihat orang tua terus-menerus menggunakan gawai. Orang tua harus bisa mengatur waktu untuk bebas gawai dan kapan orang tua sepenuhnya fokus pada anak. Jika orang tua sedang menggunakan gawai, jelaskan secara singkat, “Ayah\ibu sedang balas pesan”, atau “Ibu sedang mencari resep masakan.”

Ketiga, komunikasi empatik, validasi persaan anak saat tiba waktunya gawai dimatikan dan berikan pengertian kenapa ada pembatasan penggunaan gawai untuk anak. Keempat,  berikan jadwal tertentu dalam penggunaan gawai seperti waktu khusus yang  terjadwal dan konsisten, digital-free-zone, bisa juga dengan timer visual. Kelima, pengalihan yang alternatif menarik. Yaitu dengan menyediakan alternatiff yang melibatkan seluruh tubuh dan indra. Dengan pengalihan ini bisa melepaskan energi, meningkatkan koordinasi motorik dan memberi stimulasi sensorik yang jauh lebih sehat daripada gawai.

Dengan adanya upaya-upaya tersebut akan membantu orang tua dalam mengembangkan sosial emosional  anak seperti berkomunikasi, interaksi sosial anak dan beradaptasi dengan lingkungannya. Ketika perkembangan anak sudah terpenuhi salah satunya perkembangan sosial emosional akan membantu anak untuk siap menghadapi pendidikan selanjutnya dengan mulai berinteraksi dengan teman sebaya, guru, dan lingkungan keluarga, sekolah, dan sekitarnya. (Riva Vadila)

Penulis adalah mahasiswa Prodi PIAUD UNIK Cipasung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *