Bahasa, Identitas, dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Global

Pendidikan177 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Salah satu kecenderungan yang tampak dengan jelas dari dinamika kehidupan manusia dewasa ini ialah perubahan-perubahan yang disebabkan oleh upaya-upaya manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung kian cepat. Perubahan-perubahan tersebut terasa besar sekali pengaruhnya bagi berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan bahasa dengan berbagai seginya. Pada sisi lain, persemukaan kita dengan budaya asing melalui media cetak dan elektronik, merupakan salah satu komponen indikatornya.

Proses ini, telah memberi warna dan corak tersendiri pada sendi-sendi kehidupan budaya kita yang tengah berada dalam proses transformasi. Akibatnya, kita pun dihadapkan pada berbagai keniscayaan: penetrasi nilai-nilai baru yang avant garde yang acapkali bertentangan dengan nilai lama yang konvensional; kecenderungan pragmatik, materialistik, dan hedonik yang menjadi dominan di tengah masyarakat yang makin konsumeristik. Ujung-ujungnya sampai pada pemiskinan spiritual; dan sederet panjang fenomena lainnya.

Oleh sebab itu, yang penting bagi kita berpikir strategis tentang kebudayaan, yakni menempatkan kembali kebudayaan sebagai kerja perencanaan manusia berikut tindakan nyatanya demi kesejahteraan bersama. Persoalannya, bagaimanakah bahasa daerah menjadi komponen yang layak dipertimbangkan dalam rangka strategi kebudayaan, serta seberapa jauh dan imperatif untuk dapat dilakukan bersama.

Fenomena budaya, apapun bentuknya, termasuk bahasa, posisinya bersifat tidak stabil. Ketidakstabilan ini menuntut kita untuk selalu memperhitungkan upaya-upaya strategis menyinergiskan fenomena arus globalisasi dengan kebudayaan kita, melalui pola transformasi budaya tanpa menghilangkan identitas dan jati diri bangsa. Proses globalisasi menyediakan ruang yang begitu luas bagi siapa pun untuk melakukan apa yang disebut konstruksi identitas. Dikatakan demikian karena lewat proses itu, peristiwa pertukaran benda dan atau simbol menjadi amat mudah. Demikian juga halnya dengan perpindahan dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Belum lagi dengan kecanggihan teknologi komunikasi yang membuat fertilisasi silang antarbudaya juga semakin mudah. Itulah sebabnya, dalam globalisasi sifat translokal menjadi sifat kebudayaan dan identitas.

Situasi kehidupan kita kini mengisyaratkan, bahwa terminologi tempat sebagai sandaran bagi pemahaman kebudayaan dan identitas tidaklah cukup. Pencapaian pemahaman yang baik terhadap kebudayaan dan identitas akan terlaksana jika transformasi budaya dan identitas dimaknai sebagai ”pelancongan.” Hal ini dimaknai bahwa budaya dan manusia selalu dalam pengembaraan dari satu transmisi ke transmisi lainnya. Dengan demikian, ruang-ruang budaya juga merupakan ”medan” pengembaraan  translokal budaya demi memperkuat identitas. Mengejawantahkan pencarian identitas dan budaya melalui transmisi dan bahasa, akan menjadi rumah bersama dalam menggapai identitas, budaya, dan kearifan lokal melalui perspektif globalisasi.

Mengapa gagasan tentang ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam wacana global harus diperhitungkan dalam perbincangan bahasa berikut aspek yang terkait? Pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas seperti dinyatakan para ahli di bidangnya, selalu merupakan pertemuan dan percampuran dari berbagai kebudayaan dan identitas yang berbeda-beda. Percampuran terjadi melalui proses hibridasi, mengakibatkan labilnya batas-batas kebudayaan. Inilah tantangan sekaligus peluang yang kini terbentang dan mengepung kita.

Ketika etnisitas dipahami sebagai sebuah konsep kultural yang berpusat pada pembagian norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik-praktik kultural, maka bahasa sesungguhnya menjadi sarana yang utama. Bukankah etnisitas teraktualisasikan juga dalam cara kita berbicara tentang identitas kelompok? Sementara di dalam etnisitas itu juga selalu terandaikan adanya relasi, yakni relasi dengan identifikasi diri dan sangkan-paran sosial. Dalam konteks inilah menyiasati kembali bahasa daerah akan menemukan signifikansi dan relevansinya.

Harkat suatu masyarakat begitu ditentukan oleh budayanya sendiri. Budaya akan tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya, yang secara de facto sebagai ahli waris sekaligus pelaku menuju tercipta dan tercapainya situasi yang sadar budaya. Kesadaran atau pemahaman di kalangan masyarakat, bahwa sebagai individu yang berada di tengah tata pergaulan, posisinya tidak pernah bersifat singular, tetapi plural. Di samping itu, suatu masyarakat tidak akan mampu menjaga eksistensinya apabila tidak bergaul dengan masyarakat lain, juga tidak akan mampu apabila tidak menghayati budayanya sendiri. Persoalan hakiki ini menjadi sesuatu yang penting dan tak terhindarkan bagi budaya-budaya lokal. Oleh sebab itu, masalah tersebut tidak cukup hanya diwacanakan, tetapi harus diaktualisasikan dengan cara apa pun yang dipandang baik.

Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua hal pokok yang perlu diperhatikan. Pertama, situasi kehidupan kita kini yang semakin mengglobal, akan terbentuk nilai-nilai budaya baru yang bersifat mondial, trans-nasional, atau pranata nilai budaya yang berada di jalur utama (mainstream). Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan acuan dan tolok ukur yang dapat diterapkan di mana-mana. Kedua, pemikiran yang bertolak dari kekhawatiran munculnya dampak budaya yang disebabkan oleh globalisasi, tata ekonomi dan tata informasi. Pemikiran kedua ini mewaspadai berbagai akibat yang mungkin timbul dan tidak menguntungkan bagi sektor-sektor kehidupan yang tidak berada di jalur utama.

Mereka yang tetap menghayati nilai-nilai budaya lokalnya akan menjadi kaum marginal yang kurang dimunculkan dalam konstalasi informasi dunia, dan seringkali kurang diuntungkan secara material. Upaya mendudukkan identitas lokal yang ditandai oleh kebudayaannya, sudah seharusnya menjadi isu utama. Fakta budaya lokal hari ini ibarat berada di simpang empat yang penuh dengan berbagai tantangan dan pilihan.

Dalam konstalasi global, kearifan lokal dapat diperhitungkan sebagai realitas nilai budaya alternatif, karena berada dalam dua macam sistem budaya yang kharus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya etnik lokal. Nilai budaya nasional berlaku secara umum untuk seluruh bangsa, dan sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal manapun.

Nilai-nilai kearifan lokal tertentu menjadi citra Indonesia, karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sesungguhnya diderivasikan dari nilai-nilai budaya lama yang dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan identitas nasional, dalam istilah lain dikatakan sebagai akar budaya bangsa.

Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, misalnya dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintasbudaya. Upaya mencipta ulang identitas lokal yang merdeka ini wajah dari proses tegur-sapa kultural yang perlu dibangun secara berkesinambungan.

Keinginan untuk membangun kembali identitas lokal, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sarana yang penting untuk menyeleksi, bukan melawan pengaruh budaya yang lain liyan. Menggali dan menanamkan kembali nilai-nilai kearifan lokal adalah sebentuk formula filtrasi dalam menyeleksi berbagai budaya liyan, Karena nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas.

Nilai kearifan lokal yang lama hidup dan berkembang, hendaknya tetap menjadi unsur budaya yang dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru secara keseluruhan. Kasus bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang dijunjung tinggi adalah misal yang cukup jelas. Bahasa yang hingga kini kita sebut sebagai bahasa nasional sebagai salah satu wujud budaya nasional. Perkembangannya, sebenarnya berasal dari sesuatu yang lokal, yakni bahasa Melayu yang digunakan oleh saudara-saudara kita di Riau dan sekitarnya. Sebagai bahasa nasional, telah diterima oleh etnik-etnik lain dan memperoleh pengayaan dari bahasa-bahasa lokal yang lainnya. Bahasa Sunda Cirebon-an misalnya, yang juga kaya dengan ekspresi suasana emosi dan seringkali penuh dengan perasaan, meniscayakan kebermaknaan tertentu dalam memperkaya bahasa nasional.

Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan antara masa lalu dan masa sekarang, antara generasi nenek moyang dan generasi milenial. Kenyataan ini menepis anggapan bahwa yang relevan dengan kehidupan hanyalah masa kini, sesuatu hal yang dilabeli modernisasi. Syahdan, Ketika budaya lokal berada di simpang empat yang penuh tantangan, kita diharapkan mampu memilah dan memilih, jalan mana yang tepat dan harus dilalui, dan mana pula yang harus dihindari. (Dr. Titin Setiartin, M.Pd.)

Dr. Titin Setiartin, M.Pd. adalah Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Unsil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *