RADAR TASIKMALAYA – Bahasa, sering dikatakan sebagai anugerah tertinggi manusia—alat ucap pikir, medium pertukaran pesan yang berisikan informasi, serta jembatan antara keberadaan jiwa dan dunia. Namun, di balik keistimewaannya, bahasa menyimpan ironi: ia adalah bunyi yang tidak selalu mewakili makna yang dimaksudkan penuturnya. Bahasa bisa menjembatani makna, namun bisa juga mengaburkan isi yang ada pada dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengucap kata-kata seperti “cinta,” “rindu,” atau “percaya,” namun tak satu pun dari kata-kata tersebut dapat menjamin kesamaan pengertian. Seorang filsuf bisa memahami cinta sebagai bentuk pengorbanan hidup, seorang anak memahami cinta sebagai pelukan ibu dan ayah, sementara seorang kekasih memaknainya sebagai kesetiaan untuk mengikat. Dalam hal ini, kita tidak hanya berbicara dalam bahasa yang sama, tapi juga berhadapan dengan semesta makna yang berbeda-beda.
Kridalaksana (2001) mendefinisikan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer dan konvensional yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Artinya, bahasa merupakan konstruksi sosial dalam kehidupan sehari-hari, yang maknanya ditentukan oleh kesepakatan komunitas bahasa. Karena kesepakatan tersebut bisa berubah dan dipengaruhi oleh konteks, maka makna pun bersifat relatif dan dapat bergeser dari satu ruang budaya ke ruang lainnya.
Ahli lain, menggarisbawahi bahasa sebagai sistem tanda tidaklah netral. Dalam karya sastra, bahasa bahkan bisa menyamarkan realitas, bukan sekadar menyampaikannya. Sebuah puisi atau cerpen misalnya, dapat menyingkap emosi terdalam si pengarang, tapi juga bisa menjadi topeng yang menyembunyikan bekas luka, pesan mengritik, atau beribu rudal kata perlawanan.
Dalam perspektif ini, bahasa bukan alat transparan, melainkan cermin yang retak yang tak mampu memberikan bayangan asli yang ada di depannya. Bahasa bersifat ideologis dan bisa digunakan sebagai alat dominasi. Bahkan, bahasa bisa saja menjadi senjata tajam untuk menghilangkan nyawa seseorang.
Kemudian bahasa memiliki fungsi ganda: selain sebagai alat komunikasi, ia juga menjadi alat pembentuk pikiran. Bahasa tidak hanya menyampaikan sesuatu yang bersifat pesan atau informasi, tetapi juga mengonstruksi cara kita berpikir dan memandang realitas dunia. Oleh karena itu, bahasa bisa membentuk citra sosial bahkan membangun kekuasaan.
Tidak heran jika dalam politik, bahasa digunakan untuk membingkai kenyataan, mengalihkan makna, atau memperindah kebijakan yang menyakitkan.
Dalam wacana politik dan media, bahasa kerap kali mengandung bias ideologis. Kata-kata seperti “stabilitas,” “reformasi,” atau “kesejahteraan” tidak selalu mencerminkan kenyataan di lapangan. Justru sering kali kata-kata tersebut berfungsi sebagai pelindung atau selubung dari niat yang berseberangan dengan makna yang terlihat. Seakan kita akan cukup kenyang dengan cara dijejali penuh ekspektasi rayuan calon penguasa bagi rakyatnya. Di sini kita melihat bagaimana bahasa menjadi alat dominasi yang berbahaya jika tidak dikritisi dengan cermat.
Meski demikian, Kridalaksana juga menegaskan bahwa bahasa bersifat dinamis. Makna kata akan berubah seiring waktu, tergantung bagaimana masyarakat memakainya. Konsep ini memperlihatkan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial yang terus berkembang. Dalam artian ini, bahasa tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menciptakan makna baru sesuai dengan konteks dan pengalaman sosial pengguna bahasa. Bahasa tumbuh bersama dengan masyarakatnya.
Abdul Chaer, dalam kajian pragmatik dan fungsi bahasa, menyebut bahwa bahasa memiliki fungsi informatif, ekspresif, direktif, dan fatis. Dalam konteks ini, kita melihat bahwa bahasa bukan hanya saluran informasi yang netral. Ia bisa menjadi alat untuk menyatakan perasaan, memberi perintah, atau menjaga hubungan sosial. Kalimat “Aku mencintaimu” bukan hanya menyampaikan fakta, tetapi juga bisa membangun hubungan, memicu konflik, atau bahkan menjadi tindakan sosial yang penting dalam kehidupan manusia.
Dalam teori tindak tutur (speech act) yang juga dikembangkan dalam linguistik Indonesia oleh tokoh seperti Djoko Saryono, dijelaskan bahwa ada ujaran yang tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga melakukan tindakan. Misalnya, kalimat “Saya menikahkan kalian” bukan hanya informasi, tapi tindakan simbolik yang sah secara hukum dan sosial. Ini menunjukkan bahwa bahasa bisa menjadi kekuatan performatif, yakni ujaran yang memiliki daya kerja dalam kehidupan sosial. Contohnya lagi, “besok saya akan datang di acara pernikahanmu.” Bahasa tidak hanya membentuk pikiran, tetapi juga membentuk realitas sosial.
Demikian pula dalam dunia digital, bahasa mengalami transformasi besar-besaran. Bahasa media sosial sering kali sangat ringkas, emosional, bahkan manipulatif. Dalam ruang-ruang maya ini, makna kata dapat berubah lebih cepat daripada sebelumnya. Kata “viral,” “cancel,” atau “toxic” bisa menjadi senjata yang membentuk opini publik tanpa perlu landasan rasional. Fenomena ini menegaskan kembali bahwa bahasa tidak berdiri sendiri, melainkan melekat erat dengan konteks sosial dan teknologi yang melingkupinya.
Sebagai makhluk berbahasa, manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan untuk menyampaikan isi pikirannya. Namun pada saat yang sama, ia juga sadar bahwa tidak semua hal dapat dijelaskan dengan bahasa. Perasaan yang dalam, keindahan yang begitu megah, atau kesedihan yang diam-diam menyelinap masuk pada dirimu, kadang tak memiliki padanan kata yang tepat. Di sinilah letak paradoksnya: kita bergantung pada bahasa, tetapi juga terjebak olehnya.
Kita menyadari bahwa bahasa tak pernah sepenuhnya mampu menangkap kedalaman jiwa. Namun justru dalam keterbatasan itulah, bahasa menjadi medan pencarian makna. Ia memaksa kita untuk menafsir, untuk menyeberangi batas antara kata dan rasa, antara simbol dan kenyataan. Kita tahu kata tidak akan pernah cukup, namun kita tetap menulis, berbicara, dan merangkai kalimat dengan harapan bahwa ada jiwa lain yang akan mengerti.
Dalam konteks sederhana pemahaman bahasa, kita dapat memahami bahwa bahasa bukanlah sekadar alat, melainkan bagian dari keberadaan kita. Kita hidup dalam bahasa, kita memahami diri melalui bahasa, dan kita menjalin hubungan dengan sesama melalui bahasa. Tapi bahasa juga bisa menyesatkan, menyembunyikan, bahkan menyakiti. Oleh karena itu, literasi bahasa tidak hanya soal kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan untuk membaca niat, mengenali bias, dan memahami konteks.
Terakhir, mari kita pandang bahasa bukan sebagai cermin realitas yang jernih, melainkan sebagai medan perjuangan untuk menafsirkan makna. Setiap kata membawa kemungkinan, setiap kalimat menyimpan tafsir. Maka tugas kita bukan hanya berbicara, tapi juga mendengar dan memahami—bahwa mungkin, di balik bunyi-bunyi itu, ada jiwa yang sedang mencari makna yang belum bisa diucapkan.
Bahasa memang bisa mengorupsi makna. Tapi di saat yang sama, bahasa juga memberi kita kesempatan untuk terus menciptakan makna baru, yang lebih jujur, lebih peka, dan lebih manusiawi. Dalam keretakan dan keterbatasannya, bahasa justru memunculkan ruang empati dan pemahaman yang tak terhingga pagi penuturnya. (Nandang Kurnia Sandi)
Penulis merupakan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Unsil