MENUJU Pilkada Kota Tasikmalaya 2024, Kita dapat melihat data dari Badan Pusat Statistik, banyak data ekonomi yang tampak mengesankan seperti pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,96% dan kenaikan pendapatan per kapita menjadi Rp 36,95 juta pada 2023 namun angka-angka ini tidak selalu mencerminkan kesejahteraan setiap individu di kota Tasikmalaya, pembangunan ekonomi yang terlihat megah dari jauh, tapi begitu didekati, ternyata masalah dasarnya belum tuntas, apakah pertumbuhan ekonomi tersebut benar-benar menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat? apakah angka-angka tersebut benar-benar menggambarkan kesejahteraan yang dirasakan setiap individu di setiap sudut Kota Tasikmalaya?
Ketika nilai Investasi naik dari 8,07 triliun pada 2022 menjadi Rp 8,96 triliun pada 2023, pertanyaannya bukan hanya seberapa besar investasi yang masuk, tetapi siapa saja yang menikmatinya? karena ketimpangan ekonomi masih menjadi tantangan dan kenyataan. Maka dari itu dengan Pilkada Kota Tasikmalaya yang semakin dekat, tidak heran janji-janji kampanye tentang penciptaan lapangan kerja dan pengurangan angka pengangguran mulai digaungkan. Namun jika janji kampanye hanya soal penurunan angka pengangguran tetapi tanpa solusi konkret bagi masyarakat luas, maka masalah seperti ini akan terus berlanjut. Meskipun tingkat pengangguran turun dari 7,66% pada 2021 menjadi 6,55% pada 2023, nyatanya masih ada persoalan besar salah satunya adalah para lulusan SMK yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi sebesar 36,25%, menjadi bukti bahwa janji-janji soal pekerjaan/pengentasan pengangguran pada Pilkada sebelumnya belum sepenuhnya terwujud.
Dalam informasi statistik yang mungkin saja jarang diketahui oleh masyarakat umum, tersembunyi sebuah cerita memilukan tentang kehidupan ribuan warga Kota Tasikmalaya yang setiap hari bergelut dengan kenyataan yang pahit, yaitu hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2024 yang memaparkan kenyataan tersebut dengan tegas, bagaimana tidak? sebanyak 76,71 ribu penduduk Kota Tasikmalaya yang bisa diartikan bahwa 11,10% dari total populasi masih terjebak di bawah garis kemiskinan. Angka-angka tersebut menggambarkan manusia yang berjuang hidup dengan pengeluaran kurang dari Rp 565.377 per kapita per bulan. Sulit membayangkan bagaimana angka tersebut bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan, atau pendidikan.
Percayalah ini hanyalah permukaan dari masalah yang jauh lebih mendalam. Indeks Kedalaman Kemiskinan sebesar 1,35 menunjukkan bahwa banyak dari mereka terperosok sangat jauh di bawah garis kemiskinan. Mereka bukan hanya hidup di ambang batas, tetapi jauh di dasar, dengan jalan keluar yang terasa semakin menjauh. Lebih menyedihkan lagi, Indeks Keparahan Kemiskinan sebesar 0,26 memperlihatkan jurang kesenjangan yang lebih dalam dimana hal itu bukan hanya tentang hidup pas-pasan, melainkan tentang mereka yang bahkan dalam ketidakmampuan, masih ada yang lebih menderita, miris bukan?
Angka tersebut bukan hanya simbol statistik saja tetapi merupakan cerminan dari kehidupan nyata di masyarakat, tentang para keluarga yang tak pernah tahu apakah mereka bisa makan 2 kali sehari, anak-anak yang harus memilih antara bersekolah atau membantu orang tua mencari nafkah, dan lansia yang sudah tak berdaya tetapi tetap harus bekerja demi untuk bertahan hidup. Hal ini bisa kita rasakan, kisah tentang tetangga, saudara, atau mungkin diri kita sendiri yang terjebak dalam siklus kemiskinan, terperangkap dalam kondisi yang membuat mereka nyaris tidak memiliki harapan untuk bangkit.
Masyarakat Kota Tasikmalaya menggantungkan harapan pada para calon Wali Kota. Dengan Pilkada yang semakin dekat, pertanyaan yang menggema di setiap rumah dan gang sempit adalah “Apakah pemimpin baru akan membawa solusi, atau hanya mengulang janji manis yang segera hilang setelah pemilihan selesai?” mereka tidak meminta banyak, hanya kebijakan yang benar-benar berpihak pada mereka, yang mampu mengeluarkan mereka dari jerat kemiskinan, memberikan akses lebih baik ke pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi.
Dari suguhan data tersebut, kekhawatiran mulai muncul, yaitu mengenai “Money Politic”, bagaimana tidak? ketakutan kita sebagai masyarakat, mengenai masyarakat miskin yang bisa saja dijadikan alat tawar politik. Di Pilkada, ditakutkan mereka menjadi sasaran empuk politik uang karena kondisi ekonomi yang sulit memaksa mereka untuk menerima bantuan sesaat demi bisa bertahan hidup. Di Tasikmalaya, dimana tingkat kemiskinan mencapai 11,10% pada tahun 2024, realitanya pahit ketika kebutuhan sehari-hari saja susah dipenuhi, “Isi perut kosong siapa yang bisa disalahkan ketika tawaran uang datang?” dengan begitu sekiranya banyak masyarakat yang harus memilih antara kesadaran dan kejujuran pilihan hati nurani mereka atau kenyataan bahwa mereka perlu makan hari ini.
Kekhawatiran selanjutnya adalah masyarakat miskin hanya diperalat, seolah-olah diberi ikan satu hari, tapi tidak diajari cara memancing untuk hari-hari selanjutnya. Seperti itulah bagaimana politik uang berperan, padahal masalah kemiskinan yang sebenarnya yaitu pendidikan rendah, kurangnya lapangan kerja, sulitnya akses ke layanan kesehatan, bukankah begitu? jadi, alih-alih upaya untuk membawa masyarakat keluar dari jerat kemiskinan tetapi yang menjadi khawatir adalah mereka bergantung pada politik uang yang sifatnya sementara. Faktanya, masalah yang mendasari hal ini adalah kemiskinan itu sendiri.
Rapat Pleno telah digelar oleh KPU Kota Tasikmalaya pada 23 September 2024 yang menetapkan nomor urut lima pasangan calon yang akan bersaing dalam Pilkada ini. Adapun Paslon yang bersaing diantaranya; Nurhayati-Muslim (nomor urut 1), Ivan Dicksan-Dede Muhamad (nomor urut 2), Muhammad Yusuf-Hendro Nugraha (nomor urut 3), Viman Alfarizi-Diky Candra (nomor urut 4), Yanto Aprianto-Muhammad Aminudin (nomor urut 5). Dengan begitu harapan cerah masih ada, dan perlu diwujudkan. Kita harus memberikan kesempatan kepada para calon yang juga sebagai momentum para calon untuk memutus siklus tersebut dan mematahkan kekhawatiran terjadinya politik uang. Tidak menjadikan kemiskinan sebagai alat politik, para calon bisa mengubahnya menjadi motivasi untuk menciptakan perubahan-perubahan yang lebih baik bagi masyarakat Kota Tasikmalaya.
Para calon Wali Kota memiliki peran yang sangat penting untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa solusi jangka panjang jauh lebih berharga daripada uang sesaat. Calon pemimpin yang benar-benar memikirkan kesejahteraan rakyat bisa memperkenalkan program-program dengan visi dan misi yang jelas, calon pemimpin bisa memberikan harapan bagi masyarakat khususnya kalangan miskin bahwa mereka bukan hanya sebagai komoditas politik, melainkan bagian penting dari pembangunan Kota Tasikmalaya. Saat masyarakat melihat calon yang peduli pada mereka, tidak lagi mengandalkan politik uang, ada harapan besar bahwa mereka akan memilih bukan karena isi perut yang lapar pada hari itu, tapi karena keyakinan bahwa pemimpin ini bisa mengubah masa depan mereka baik itu dalam pemberdayaan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memperbaiki akses pendidikan. Ini adalah kesempatan emas untuk menunjukkan bahwa para calon Wali Kota Tasikmalaya tidak hanya datang dengan janji tetapi dengan tindakan nyata dan terukur, bukan hanya janji manis pada saat masa kampanye.
Penulis: Muhamad Riza Noorzaman, lahir di Tasikmalaya, mahasiswa Ekonomi Pembangunan di Universitas Siliwangi.