Kawali, Kebesaran Sunda yang Terlupakan

Sejarah93 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Kota Kawali saat ini kita kenal sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Letaknya kurang lebih 26 Km dari ibu kota Kabupaten ke sebelah utara. Kecamatan ini berdekatan dengan Kecamatan Panjalu di sebelah utara. Kecamatan Panjalu juga dikenal sebagai salah satu kecamatan di Jawa Barat yang kaya akan objek-objek kajian tentang sejarah Sunda.

Sebagai sebuah kecamatan, apalagi letaknya terpencil di sebelah utara Ciamis, saat ini Kawali merupakan kota kecamatan biasa saja, khususnya bagi mereka yang tidak mengenal sejarah Kota Kawali ini di masa lampau. Padahal kota ini dahulu dianggap pernah menggegerkan “panggung” sejarah Nusantara, karena dianggap pernah menjadi ibu kota (dayoh) Kerajaan Sunda sejak tahun 1333-1484 M (Prabu Linggadewata sampai pemerintahan Prabu Dewa Niskala (Ningrat Kancana).

Kawali menjadi ibukota Kerajaan Sunda Galuh setelah penguasa Sunda Linggadewata memindahkan pusat kekuasaan dari Pakuan (Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati) ke Kawali (diprasasti Kawali disebut Surawisesa). Namun sejarawan hingga kini belum bersepakat letak tepatnya keraton Surawisesa tersebut. Situs Astana Gede Kawali yang dipercaya sebagai letak keraton hingga kini diperdebatkan karena sejarawan menganggap situs tersebut lebih tepatnya disebut pemujaan raja dan keluarganya, karena peninggalan-peninggalan di area tersebut menguatkan hal itu.

Sedangkan Kerajaan Sunda saat itu disebut sebagai Sunda-Galuh, karena sejak pecahnya kerajaan Tarumanagara menjadi kerajaan Galuh dan Sunda. Kedua kerajaan tersebut asalnya berpisah mandiri dengan raja Sunda (Tarusbawa) dan raja Galuh (Wretikandayun) dengan sungai Citarum sebagai batasnya. Namun ketika Sunda berpusat di Kawali, raja Sunda saat itu merangkap sebagai Raja Galuh karena hubungan perkawinan yang menyebabkan raja saat itu memiliki dua hak tahta, yakni sebagai raja Sunda dan Galuh. Sehingga pada Masa Prabu Linggadewata Raja Sunda biasa disebut sebagai raja Sunda-Galuh.

Situs Astana Gede: Situs Sunda Terlengkap

Sumber sejarah yang paling valid dan dianggap menguatkan bahwa Kawali pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda adalah beberapa prasasti yang terdapat di Kawali, tepatnya di Dusun Indrayasa, Kecamatan Kawali. Lokasi tempat ditemukannya prasasti tersebut saat ini dikenal sebagai Situs Astana Gede Kawali. Situs ini pertama kali ditemukan oleh Gubernur Jenderal Raffles. Dalam bukunya yang sangat fenomenal History of Java, Raffles mengemukakan bahwa Prasasti Kawali (Astana Gede) merupakan salah satu bukti otentik kebesaran Sunda yang dilanjutkan Padjadjaran. Ilmuwan lainnya kemudian meneliti, dan menerjemahkan naskah prasasti tersebut yang petama yakni Friederich (1855). Penelitian selanjutnya dilakukan (Veth (1896), Holle (1867), Nooduyn (1888), Danasasmita (1984) dan Atja (1990).

Sebagian para sejarawan menganggap situs Astana Gede merupakan pencampuran antara tiga peradaban, yakni peradaban pra sejarah, klasik dan Islam. Temuan-temuan di lokasi situs ini menguatkan hal ini. Misalnya dengan adanya temuan yang menjadi ciri khas tradisi Megalitikum, seperti Punden Berundak.

Selain itu juga di situs ini terdapat cukup banyak prasasti. Bahkan dibanding dengan situs lainnya di Jawa Barat, situs ini menyimpan paling banyak prasasti. Terhitung terdapat 6 prasasti tentang raja yang memerintah Kawali, nasihat raja, dan pusat kekuasaan yang disebut Keraton Surawisesa. Di area ini juga terdapat tradisi Islam seperti nisan dan terdapatnya makam yang dipercaya penyebar agama Islam di Kawali.

Peristiwa Bubat: Kebesaran Kawali dalam Sejarah

Satu hal lagi yang membuat Kerajaan Sunda yang berpusat di Kawali termashur dalam sejarah adalah munculnya peristiwa Bubat. Naskah Wangsakerta menyebutnya Pasundan Bubat. Peristiwa Bubat ini diyakini terjadi tahun 1357 M saat Kerajaan Sunda Sunda dipimpin Prabu Linggabuanawisesa (Raja Sunda ke-24) berkuasa sekitar tahun1350-1357 M.

Dalam keterangan Kidung Sundayana, Kitab Pararaton dan Naskah Wangsakerta, perang Bubat merupakan perang antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Majapahit. Perang Bubat terjadi karena adanya keinginan Raja Majapahit, Hayam Wuruk untuk mempersunting putri Raja Sunda, Diah Pitaloka Citrasmi. Namun ketika rombongan Raja Sunda dan calon pengantin tiba di Paseban Bubat, Maha Patih Gadjah Mada menginginkan menyempurnakan cita-cita yang telah menjadi sumpahnya, sehingga tanpa sepengetahuan rajanya moment tersebut dimanfaatkan Gadjah Mada untuk menaklukan Sunda.

Versi lainnya mengenai Bubat adalah bahwa kejadian itu sebenarnya upaya penjajah untuk memecah belah Sunda dan Jawa. Menurut pendapat yang mendasarkan cerita tutur ini bahwa Bubat sebenarnya memang ada, yang terjadi karena kesahpahaman antara pasukan Sunda yang mengantar calon mempelai. Para penyambut dari Majapahit secara tidak sengaja meletakkan barang bawaan Sunda di Paseban, yang biasa menyimpan barang bawaan dari negara bawahan. Pihak Sunda tidak terima, sehingga terjadilah perselisihan dan berakhir dengan perang yang tidak terkendali. Peristiwa berlangsung secara cepat diluar kendali Mahapatih Gadjah Mada yang berada di Keraton mempersiapkan penyambutan. Cerita ini berbeda dengan versi di atas dan cenderung membela Mahapatih Gadjah Mada (Sukardja, 2017).

Versi lainnya seperti dalam Novel Sejarah Gadjah Mada dan Perang Bubat yang melakukan perjalanan di tempat-tempat yang selama ini mengenal cerita tersebut. Peristiwa bubat terjadi karena latar belakang Cinta “segi tiga” antara Hayam Wuruk, Gadjah Mada dan Diah Pitaloka. Ada juga latar belakang dendam Gadjah Mada terhadap Sunda yang pernah melecehkannya, ataupun versi-versi lainnya yang tersimpan rapi dalam cerita tutur masyarakat. Diluar kontroversi cerita dan sejarah diatas, Kawali dipercaya pernah menjadi sentrum Kerajaan Sunda (sejenis metropolitan dalam bahasa saat ini). Kota ini saat itu dianggap sebagai sebagai satu-satunya kota yang berkembang pesat sebagai pusat kekuasaan dan peradaban  di Jawa Bagian Barat.

Penutup

Akhirnya semua yang tersaji dalam tulisan ini adalah hal yang sangat debatibel. Dalam konteks itu saya hanya bisa mengucap wallohua’lam bishowwab hanya Tuhan yang tahu. Namun, sebagai manusia yang sadar akan pentingnya pelurusan sejarah, kajian-kajian baru, baik yang sifatnya hanya wacana, perenungan pribadi, maupun kajian serius yang lebih ilmiah dan objektif harus terus dilakukan. Untuk mengetahui kejadian yang sebanarnya dan tokoh yang patut ditiru, perjuangan yang patut dihargai, kenistaan yang patut dijadikan pelajaran supaya kita tidak terperosok dalam “lubang” yang sama. Semoga tulisan ringan ini menjadi “penyulut” untuk lebih mengembangkan kultur diskusi dalam mengembangkan dan meluruskan sejarah yang selama ini didominasi tafsir rezim. Semoga. (Subhan Agung)

Subhan Agung merupakan dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi. Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik UGM, Yogyakarta. Dia juga merupakan Pemerhati Kebudayaan Sunda, tinggal di Kaki Gunung Galunggung. Dosen FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *