Belajar Seni Validasi Emosi 4T ala Elly Risman

Seni dan Budaya26 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Dalam riuhnya kehidupan modern, orang tua sering kali dihadapkan pada tantangan mengelola emosi anak. Tangisan keras, tendangan kaki di lantai, dan teriakan frustrasi adalah pemandangan yang tak asing bagi orang tua. Fenomena anak tantrum sering membuat orang tua merasa kehabisan akal. Alih-alih mereda, terkadang upaya menenangkan justru berakhir  konflik. Ketika badai emosi anak melanda, refleks kita seringkali sama: “Kenapa kamu begini? Berhenti sekarang!” Namun, tahukah Bunda, respons yang paling instingtif itu justru menjadi bumerang?

Psikolog ternama Elly Risman, melalui berbagai bukunya,Ilmu Memeluk Anak dan Parenting++, menyerukan sebuah revolusi pengasuhan. Ia memperkenalkan jurus “Validasi Emosi” yang fundamental, sebuah teknik sederhana yang kekuatannya mampu mengubah amarah sesaat anak menjadi bekal regulasi diri seumur hidup. Teknik ini bertolak belakang dengan intuisi banyak orang tua yang cenderung langsung mencari tahu sebab masalah (“Kenapa kamu marah?”), sebuah pertanyaan yang menurut Bunda Elly justru dapat menjadi “Blokade Otak” dan memperburuk kondisi anak.

Dalam psikologi, ketika anak dilanda emosi kuat seperti marah, takut, atau sedih pusat logika di otak prefrontal  sedang terblokir. Bertanya “Kenapa kamu marah?” pada saat itu sama dengan menuntut jawaban rasional dari otak yang sedang tidak berfungsi rasional. Menurut Bunda Elly, pertanyaan “kenapa?” pada momen krisis emosi membuat anak merasa dituduh, dihakimi, dan tertekan. Alih-alih mereda, emosi justru memuncak, durasi tantrum memanjang, dan hubungan orang tua dengan anak merenggang karena munculnya rasa tidak dipahami. Untuk itu, Bunda Elly menawarkan sebuah jembatan komunikasi yang disebut 4T (4 Tahap).

 

EMPAT LANGKAH KUNCI VALIDASI EMOSI (4T)

Validasi emosi adalah praktik mengakui dan menerima perasaan anak tanpa menghakimi. Ini adalah bahasa yang membuat anak merasa aman. Orang tua wajib menguasai empat tahapan (4T) ini saat menghadapi luapan emosi anak.

Pertama, baca bahasa tubuh. Tindakan pertama adalah mengalihkan fokus dari kata-kata anak ke isyarat non-verbalnya. Perhatikan cemberut, bahu merosot, tangan terkepal, atau tangisan tanpa suara. Ini adalah langkah awal untuk benar-benar melihat kondisi emosional anak yang sesungguhnya. Kedua, tebak perasaan. Berdasarkan bahasa tubuh yang dibaca, berikan kalimat pengakuan tulus. Misalnya  “Mama lihat kamu… sedih sekali”. Tujuannya adalah membantu anak merasa dilihat dan kehadirannya diakui secara emosional. Ketiga, namai emosi. Sejak dini berikan anak kosakata emosi. Sebutkan nama perasaannya “Oh, Kakak marah  ya?” atau “Adik sedang kecewa”. Ini adalah bekal krusial agar kelak mereka mampu mengenali, mengomunikasikan, dan mengelola perasaannya sendiri. Keempat, terima perasaan. Nyatakan penerimaan tulus tanpa perlu mencoba memperbaiki masalah atau menghibur berlebihan. Ucapkan “Tidak apa-apa, kamu boleh merasa marah. Mama temani ya?” Ini memberikan izin pada anak untuk merasakan emosinya hingga mereda secara alami (self regulation). Psikolog Elly Risman menegaskan, “Bila perasaan anak tidak kita terima, anak merasa seluruh dirinya tidak diterima. Lucu ya? Tapi begitulah kenyataannya”.

 

STUDI KASUS: IBU DAN SI KECIL LEO

Ibu Ratih, seorang ibu muda dengan satu anak sering merasa kewalahan menghadapi putranya Leo yang masih kecil. Leo, yang perbendaharaan katanya masih terbatas, selalu mengekspresikan frustrasi dan kemarahannya dengan jeritan tinggi, menendang-nendang, dan melempar benda. Pemicu terbarunya adalah ketika Ibu Ratih menutup pintu kulkas setelah mengambilkan Leo susu, padahal Leo bersikeras ingin menutupnya sendiri. Tentu saja, Leo meledak.

Reaksi lama ibu ratih: Ibu Ratih akan langsung memegang Leo, mengangkatnya sambil berkata keras “Mama cuma bantu! Kenapa sih selalu teriak?! Jangan begitu! Diam!”. Dampaknya Leo akan melawan pelukan itu, menjerit semakin histeris, dan Ibu Ratih berakhir menangis karena merasa gagal dan lelah menghadapi amarah anaknya yang tak terjangkau.

Setelah mempelajari prinsip Bunda Elly Risman, Ibu Ratih berjanji untuk tidak lagi menggunakan kalimat “kenapa?” dan fokus pada observasi. Pada insiden melempar sendok di meja makan: Pertama, baca bahasa tubuh. Alih-alih langsung mengangkat Leo, Ibu Ratih tetap di kursinya dan membiarkan sendok itu tergeletak. Ia menatap Leo yang wajahnya memerah, air mata mengalir, dan tubuhnya gemetar. Ia tahu Leo sedang dalam mode survival emosi bukan mode logika.

Kedua, tebak perasaan. Dengan suara sangat pelan, Ibu Ratih berjongkok di samping kursi tinggi Leo. “Mama lihat kamu kesel banget, ya? Sendoknya jatuh, kamu marah”. (Leo tidak menanggapi hanya terus menjerit, tapi Ibu Ratih melanjutkan). Ketiga, namai emosi (Meminjamkan Kosakata). Ibu Ratih menyentuh bahu Leo “Ini namanya marah sayang, kamu lagi marah karena kamu belum bisa mengambil sendok yang jatuh sendiri, padahal kamu mau melakukannya”. (Pada usia ini anak perlu dibantu untuk menghubungkan sensasi fisik dengan nama emosinya). Keempat, terima perasaan. Ibu Ratih kemudian berkata, “Tidak apa-apa, kamu boleh kok merasa marah” “ Mama di sini, kamu boleh nangis sekencang-kencangnya. Mama temani”.

Ibu Ratih tidak berusaha menghibur dengan mainan, tidak mengancam, dan tidak mencoba menyuapi. Ia hanya menahan amarah dengan kehadiran yang tenang. Pelukannya tidak memaksa, hanya menjadi dinding yang aman. Leo akhirnya menangis hingga sesenggukan, tapi kali ini ia bersandar ke dada ibunya. Setelah ia tenang Ibu Ratih menunjukkan tempat sendok dan berkata, “Kalau kamu butuh sendok, kamu bisa tunjuk ke Mama, jangan dilempar ya Nak”.

Beberapa minggu kemudian, saat sedang bermain dan baloknya jatuh, Leo mulai menunjukkan perubahan yang menakjubkan. Ia terlihat akan menjerit tetapi ia tiba-tiba menoleh ke ibunya, menunjuk balok yang jatuh dan membuat suara rengekan pelan sambil menunjuk. Ini adalah kemenangan besar bagi Ibu Ratih. Leo tidak lagi meledak secara destruktif, tetapi ia mulai mencari cara komunikasi yang lebih baik menggunakan “tunjuk” dan “rengekan terkontrol” sebagai pengganti jeritan histeris.

Validasi emosi Bunda Elly Risman mengajarkan Ibu Ratih bahwa mengelola amarah anak usia dini dimulai dari mengendalikan amarah diri sendiri dan menjadi penerjemah emosi bagi anak yang belum memiliki kemampuan verbal.

Validasi emosi yang diajarkan Elly Risman bukan sekadar trik meredakan tangisan sesaat. Ini adalah investasi mental jangka panjang. Anak yang perasaannya diterima dan diakui akan membangun Resiliensi Emosi yang kuat. Mereka memiliki konsep diri yang positif dan mampu menghadapi tekanan hidup dengan lebih bijak saat dewasa.

Mulai hari ini, mari kita hentikan kebiasaan mencari “kenapa?” di tengah badai emosi. Ganti dengan bahasa tubuh, tebak perasaan, namai emosi, dan terima seutuhnya. Dengan jurus 4T ala Bunda Elly Risman, kita tidak hanya mengasuh anak bahagia, tapi juga menciptakan generasi yang sehat secara mental dan emosional.

Nurlita Dewi

Mahasiswa Prodi PIAUD UNIK Cipasung

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *