Tasikmalaya dan Ironi Perpustakaan Daerahnya

Pendidikan84 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Ribuan orang memadati gedung perpustakaan setinggi enam lantai di pusat kota dan padat penduduk. Mulai dari anak-anak hingga dewasa, laki-laki dan perempuan, mahasiswa hingga orang tua. Mereka mengisi ruang-ruang dalam bangunan yang menjadi ”pusat peradaban” untuk mencari referensi, mengerjakan tugas, diskusi, bahkan membuat karya seperti film.

Pemandangan itu setiap akhir pekan saya rasakan di Perpustakaan Cikini, Kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Perpustakaan benar-benar dipadati pengunjung, berbagai fasilitas disediakan untuk memenuhi kebutuhan pemustaka. Perpustakaan bukan hanya ruang-ruang yang penuh dengan buku, lebih dari itu perpustakaan menjadi ruang bertumbuh bagi masyarakat.

Suasana tersebut tidak pernah saya temukan di Kabupaten Tasikmalaya. Sebagai anak muda yang telah lama mencari ruang bertumbuh di kampung halaman, menemukan perpustakaan modern di Jakarta semakin membuat saya kadang ”malas” pulang kampung. Kabupaten Tasikmalaya, dengan segenap potensi sumber daya alam dan budayanya bahkan tidak dapat memenuhi hak mendasar bagi masyarakat.

Rasanya, pembangunan di Kabupaten Tasikmalaya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Adakah masyarakat Kabupaten Tasik yang pernah menikmati sarana olahraga, gedung kesenian, gedung kreatif, ruang terbuka bagi anak-anak muda, atau stadion olahraga? Di mana masyarakat bisa menikmati itu semua? Tidak berlebihan rasanya jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2023, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten Tasikmalaya masih tergolong rendah di Jawa Barat, di urutan ketiga, dari bawah (urutan 25 dari 27 kota/kabupaten) (BPS, 2023).

Ironi Perpustakaan di Kabupaten Tasikmalaya

Menyoal peradaban, sejarah telah mencatat bahwa pengembangan ilmu pengetahuan akan meningkatkan pembangunan manusia dan kapasitas masyarakat. Sebagai contoh, perpustakaan Baghdad (Baitul Hikmah) berhasil menciptakan ilmuwan-ilmuwan hebat yang mendunia. Ketika kejatuhan Dinasti ‘Abbasiyah, sumber pengetahuannya dihanyutkan dan dibakar oleh Bangsa Mongol, tidak ada lagi ilmuwan-ilmuwan besar yang lahir setelahnya.

Perpustakaan memiliki peran krusial dalam membangun peradaban masyarakat di suatu wilayah. Sayangnya, di Kabupaten Tasikmalaya, “pembodohan” masyarakat sepertinya semakin permisif atau terang-terangan. Pengkerdilan perpustakaan dengan gagah berani dilakukan secara terbuka. Padahal, mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, pemerintah kota atau kabupaten wajib menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat.

Masalahnya, di Kabupaten Tasikmalaya, pemerintah bahkan membubarkan lembaga yang memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan, yaitu Dinas Perpustakaan dengan alasan efisiensi. Masalah perpustakaan dan kearsipan yang idealnya diurus oleh setingkat dinas dengan beberapa bidang, sekarang menjadi urusan sub-bagian di Bagian Umum Sekretariat Daerah. Betapa perpustakaan sangat dikerdilkan bukan?

Parahnya lagi, Kabupaten Tasikmalaya juga tidak memiliki gedung perpustakaan daerah yang berdiri di wilayahnya. Perpustakaan Umum Kabupaten Tasikmalaya, hingga saat ini masih berada di pusat Kota Tasikmalaya (sejak pemekaran wilayah), itu pun menyatu dengan gedung Disdukcapil. Beberapa ruangan dijadikan satu sebagai tempat penyimpanan buku yang katanya itu adalah perpustakaan daerah. Sangat tidak merepresentasikan perpustakaan sebagai pusat peradaban. Memang tidak layak juga disebut perpustakaan.

Kondisi pemerintah yang tidak peduli diperparah dengan masyarakat yang juga tidak sadar sedang dikerdilkan. Rasanya, ungkapan Milan Kundera ada benarnya, “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah.” Sastrawan Ray Bradbury menambahan, “Tak perlu membakar buku untuk menghancurkan sebuah peradaban, tapi buatlah masyarakatnya berhenti membaca.”

Menunggu Political Will Pemimpin

Masyarakat sedang dijauhkan dari peradaban karena pemimpin membuat kebijakan serampangan. Audiensi demi audiensi telah lama dilakukan, tapi tidak berbuah. Perpustakaan Nasional saat ini sedang menggencarkan program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS). Kabupaten Tasikmalaya, jangankan memikirkan bagaimana menciptakan TPBIS, perpustakaannya saja diabaikan, kelembagaannya tidak diperhatikan.

Kini, adakah calon pemimpin yang menunjukkan kepedulian terhadap kemajuan perpustakaan? Masyarakat bisa menilai sendiri. Pembangunan fisik berupa infrastruktur yang dijanjikan akan terus dilakukan, mestinya juga beriringan dengan pembangunan software atau kualitas masyarakatnya. Apakah pemerintah daerah sudah kehabisan akal untuk menciptakan ruang publik yang mampu meningkatkan kualitas SDM masyarakat?

Political will atau tekad pemimpin untuk melaksanakan kebijakan penting sangat diharapkan. Sudah saatnya para pemimpin hadir di tengah masyarakat dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hadirkan perpustakaan daerah yang dapat merepresentasikan pesatnya peradaban, benahi Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan Perpustakaan Desa agar semakin berdaya menciptakan simpul-simpul peradaban di akar rumput.

Kini, sudah saatnya pemerintah daerah memiliki tekad kuat membangun sumber daya manusia sebagai investasi pembangunan jangka panjang. Perpustakaan, fasilitas olahraga, gedung kesenian, stadion, pusat kreativitas anak muda, pusat UMKM, adalah beberapa dari sekian banyak hal yang harus dipenuhi dalam rangka meningkatkan kreativitas dan kualitas SDM Kabupaten Tasikmalaya. (Muhamad Wafa Ridwanulloh)

Muhamad Wafa Ridwanulloh merupakan Ketua Paguyuban Duta Baca Jawa Barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *